warna (yang hilang) pada matahari
#xh #heroesficfest #songfiction
written for @HEROESFICFEST's first event.for gunseok (gunil x jiseok), slight gunsu.
tags: angst, slice of life, tw // major character death, tragedy, implied & mentioned suicide.
this is a songfiction based on colors – day6.
[ 1., Merah ]
Gunil pernah berpikir bahwa ia mungkin terlalu nyaman hidup dalam dunia yang dibingkai warna hitam dan putih. Rutinitas hidupnya semonoton kertas-kertas koran yang biasa ia terima setiap pagi; bangun tidur, bersiap-siap dan sarapan, lalu memulai hari dengan memanggang roti dan mengurusi sapi. Jika beruntung, akan ada wisatawan buta arah yang tiba-tiba datang dan memesan kamar pada penginapan sederhana yang ia rintis bersama Jungsu.
Maka dari itu, ia baru tahu bahwa sepertinya matahari telah berubah warna menjadi selembut lilac seperti kebun bunga milik tetangga.
“Kak Gunil.”
Sosok berambut ungu pudar itu menyambut Gunil dengan senyum lebarnya dari balik kaca penginapan, matanya berkilau karena cahaya matahari pagi. Gunil yang sedang mengelap kaca terkejut bukan main ― ia pikir, tempat tinggalnya kembali didatangi pemabuk aneh yang tak tahu jalan pulang. Tapi ketika pria itu memanggil namanya, alis Gunil berkerut.
Siapa? pikirnya, dan sebelum pikirannya menjalar ke mana-mana, pria itu memaklumi kebingungan jiwa Gunil yang masih tampak setengah mengantuk.
“Kak Gunil! ini Jiseok. Kita pernah main band bareng, kamu nggak ingat~?”
.
Gunil kembali mengecek sebaris nama yang tak asing dari layar komputernya sebelum mengambil kunci kamar. Pria yang ia temui pagi tadi masih berkeliling memandangi perabot antik, foto-foto pemandangan dan sofa-sofa bersarung nyentrik yang diberikan oleh Jooyeon dua tahun lalu.
Kwak Jiseok, begitu nama yang terdaftar dalam database penginapan mungilnya hari ini. Ia ingat sekarang. Ia mengenal Jiseok melalui Jooyeon saat SMA, dan sejak awal, dia memang sama anehnya dengan teman karibnya itu. Mungkin karena itu mereka berteman baik, Gunil membatin saat itu, dan selain keanehannya yang nyata, ia tetaplah adik kelas yang ramah dengan permainan gitar yang apik, sehingga Gunil tidak masalah dengan hal itu. Masalahnya, sekarang ia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat Jooyeon tidak ada.
Jiseok tiba-tiba datang mengunjungi penginapan-sekaligus-kediamannya itu pada pagi-pagi buta. Ia tak membawa tas apa pun, dan saat ditanya, ia bilang tasnya tertinggal di bus. Jiseok cepat-cepat menambahi bahwa jangan khawatir, karena dompetnya masih ada bersamanya. Gunil menghela napas dan hendak berkata bahwa bukan itu maksudnya, tapi karena ia terlalu lelah dengan sosok yang mengejutkannya pagi ini, pada akhirnya ia tidak berkata apa-apa.
Gunil menaruh kunci kamar di atas lipatan handuk dan baju bersih yang ia tumpuk. “Ini, pakai bajuku saja dulu kalau begitu,” Gunil menyodorkan barang-barangnya pada Jiseok. “Seminggu itu bukan waktu yang sebentar. Kenapa kau tidak pulang saja?”
Jiseok yang sedari tadi melamun di depan salah satu lukisan menjadi terkejut sendiri. Responnya yang tiba-tiba bergidik membuat Gunil ikut mengangkat alis.
“Ah ... oh, iya.” Jiseok kemudian menerima pemberian Gunil, menatap lipatan kain itu dengan tatapan bingung. “Ini, nggak apa-apa?”
“Ya memang kau mau memakai pakaian yang sama untuk seminggu penuh?” Gunil kembali menghela napas, entah untuk yang keberapa kali. “Pakai saja. Tidak perlu membayar penginapan juga, anggap saja kau main ke rumah teman lama. Lagian kau ini aneh sekali, padahal rumahmu di kota sebelah, kau bisa saja langsung pulang.”
Jiseok melempar sebuah senyuman jahil. “Hehehe, kan aku ke sini mau ketemu kak Gunil,” ia kemudian mendekap baju itu dalam pelukannya. “Kebetulan banget, sekarang jadi bisa coba pakai baju ayang.”
Tentu saja dalamnya masih Jiseok yang sama, Gunil membatin. “Jangan aneh-aneh. Kamarmu ada di atas, di kanan lorong,” Gunil kembali bersiap-siap mengenakan celemeknya. “Kalau sudah beres-beres, kau bisa turun untuk sarapan. Di sini hanya ada roti, tapi kalau kau mau yang lain, mungkin bisa aku buatkan nasi kepal dan sup rumput laut.”
Sebuah senyum cerah kembali terbit pada wajah Jiseok. “Siap, Kapten!”
[ 2., Jingga ]
Karena terbiasa hidup dalam abu-abu, kehadiran Jiseok bak setitik warna lembayung yang merubah satu kolam susu menjadi tampak seperti pantulan langit senja.
Setelah lulus sekolah, Gunil pindah ke luar kota dan mendirikan penginapan sekaligus bakery pada desa tempatnya tinggal. Itu cita-cita yang telah ia impikan selepas lulus; tinggal di daerah yang minim huru-hara berita, hidup dengan tenang hingga usia tua. Pun ia yang pernah mendalami dunia musik, tidak pernah bermimpi untuk menjadikannya sebagai salah satu jalan hidupnya.
Bagai kutub polar yang berlawanan, kehidupan Jiseok tak lepas dari hingar-bingar popularitas. Hal yang menjadi Gunil ketahui, tentang dunia luar yang kini jarang ia jamah; bahwa Jiseok melanjutkan karirnya sebagai seorang musisi, hidup seperti menaiki roller-coaster yang bisa bertabrakan kapan saja. Barangkali itu dapat menjelaskan penampilan nyentriknya hingga Gunil tidak mengenalinya pada pandangan pertama―rambut berwarna pucat dan wajah yang teramat rupawan, meskipun sejak dulu Jiseok memang sudah terkenal karena rupanya yang manis. Barangkali itu pula yang menjelaskan sifatnya―sesekali meledak-ledak, penuh ambisi, tertawa riang seakan energinya tidak pernah habis. Ia bahkan mampu membuat Jungsu terpingkal-pingkal, yang mana biasanya pria itu sangat serius saat jam penginapan sedang beroperasi.
Jiseok membuat tempat penginapannya menjadi sedikit lebih hangat.
.
“Ayo nanti kita reuni,” ucap Jungsu pada obrolan jam makan siang. “Aku sering bolak-balik ke kota, nanti aku bisa mengabari Jooyeon kalau jadi.”
Jungsu mengoleskan selai stroberi pada rotinya, dan perbuatan itu nampaknya menjadi magnet bagi Jiseok untuk terus mengamatinya. Tak kunjung mendengar jawaban, Jungsu menoleh dan menemukan tatapan Jiseok yang masih lengket pada corengan merah yang tertata di atas roti.
Jungsu refleks menyodorkan rotinya. “Mau?”
“Eh ... ah, nggak, makasih. Aku juga punya di piring,” Jiseok mengerutkan hidungnya. “Oh, Jooyeon? Kak Jungsu sering ketemu dia?”
“Iya, aku sering mengantarkan pastry ke cafe tempat dia biasa manggung,” Jungsu kembali meletakkan roti di piringnya. “Kalau beruntung, bisa ketemu Seungmin dan Hyeongjun juga. Mereka kerja di toko buku, kamu tahu?”
“Toko buku? Serius?”
“Ah, Jiseok, kamu tinggal di kota tapi ketidaktahuannya 11-12 dengan kak Gunil,” Jungsu menoleh pada Gunil yang masih tertegun mendengar celotehannya. “Kak Gunil, kalau tidak sibuk mengurusi toko roti, paling-paling pusing memikirkan produksi susu sapinya.”
Memang benar. Terlepas dari cerita sapi-sapi itu―hidup Gunil memang datar. Bahkan kehadiran Jiseok nampaknya terlalu berwarna untuk Gunil yang terbiasa terpapar cahaya remang monokrom.
Di luar dugaan, Jiseok hanya merespon penjelasan tersebut dengan seulas senyuman tipis.
“Syukurlah, hidup di sini memang membuat tenang, ya.”
[ 3., Kuning ]
“Kak Gunil, kamu udah nikah, ya?”
Gunil lantas menyemburkan es kopi yang seharusnya ia habiskan dalam satu teguk. Ia terbatuk-batuk hingga Jiseok yang awalnya bingung kini ikut panik sambil menepuk pelan punggungnya.
“Kak, memang harusnya kakak pensiun aja,”
“Pertanyaanmu itu yang buat aku keselek, bodoh,”
Jiseok terkikik geli.
Ia akhirnya berhenti setelah meneguk kembali cairan dingin itu hingga matanya berair. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?” tanyanya serak.
“Gapapa, mau menyiapkan hati,” jawabnya setengah bercanda, “Tapi, kalau kakak mencari yang kedua, aku siap berdiri di barisan terdepan.”
Gunil sudah terlalu kebal dengan gombalannya yang kesekian. Satu lagi yang tidak ia mengerti, bahwa Jiseok memang sejak dulu sering kali melempar candaan tentang kisah romansa. “Jangan-jangan kau datang ke sini sebenarnya mau melamar?”
Jiseok berakting terkejut. “Kakak tahu?! Kita memang soulmate sepertinya!”
“Lamaran yang aku terima di sini cuma lamaran pekerjaan, Jiseok-ah.”
“Wah,” Jiseok menepuk dadanya dengan dramatis. “Kamu dengar kak, ada suara retak. Dari dalam hatiku.”
“Sebentar, aku serius. Memangnya ada yang bilang begitu?” potongnya, sambil mengambil sekeranjang buah lemon di samping Jiseok untuk dicuci.
Jiseok ikut mendekatkan satu keranjang kosong yang bersih di sampingnya. “Nggak. Cuma nebak-nebak aja,” ia menerima buah yang sudah bersih dari Gunil, lalu meletakannya dalam keranjang. “Tapi, iya, kan? Makanya kakak pindah dan buka usaha penginapan sama kak Jungsu.”
Alis Gunil berkerut. “Kalau maksudmu adalah pertanyaan apakah aku menikah dengan Jungsu, jawabannya adalah tidak,”
“Loh, bukannya dulu kalian pacaran?”
Jadi dia tahu, kerutan Gunil semakin dalam, kemudian memikirkan mengapa ia tetap melemparkan humor gombal padanya. “Itu masa lalu. Kita putus baik-baik. Memangnya harus menikah dulu untuk membuka bisnis dengan orang lain?”
“Nggak, sih ...” Jiseok tampak menimang-nimang ucapannya sebelum melanjutkan. “Cuma kepikiran. Kalau semisal kak Jungsu benar-benar meninggalkan kakak, apa kakak bakal sedih?”
“Dalam konteks apa?” Gunil menghentikan kegiatannya sejenak. “Kalau itu berlaku untuk kebahagiaannya, aku rela-rela saja,”
“Tapi kakak bakal sedih?”
“Ya ... sedih pasti ada. Aku sudah terlalu lama bersamanya,” Gunil kembali meniriskan air-air dari kulit kuning berkilau itu sebelum memberikannya pada Jiseok. “Sebagai pasangan dan teman, atau sekedar rekan bisnis. Aku yakin dia bisa berdiri sendiri, tapi mungkin sudah jadi kebiasaan di antara kita untuk saling menolong kalau kesulitan,”
Tak lama ia sadar barangkali jawabannya terlampau ambigu. Sebelum ia merangkai kata untuk menjawab pertanyaan lain yang mungkin dilontarkan Jiseok, ia hanya disambut oleh senyum tipis―senyuman yang sama seperti tempo hari saat mereka membicarakan tentang Gunil dan sapi-sapinya.
“Bagus dong, kalau ada yang selalu saling menjaga.”
Hening sejenak, dan suasana sendu itu membuat Gunil sedikit tidak nyaman. “Sebagai teman, Jiseok. Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi. Jangan cemburu,” Ia pada akhirnya menambahkan.
Jawaban Gunil membuat tatapan Jiseok melebar sebelum ia berderai dalam tawa ― kembali menjadi sosok Jiseok dengan penuh ledakan warna seperti yang Gunil kenal.
“Ih, bukan! Aku paham, kok. Aku juga berbicara dalam konteks luas,” ia mengusap air mata imajinernya. “Dunia bisa jadi terlalu kejam untuk dilalui sendirian. Karena kalian orang-orang yang aku sayang, aku berharap semoga kalian bahagia selalu.”
[ 4., Hijau ]
Tangan Gunil sibuk mencuci mangkuk-mangkuk bekas adonan roti, namun pandangannya tak kunjung lepas dari sosok yang sedang bermain bola di luar jendela.
Pada lapangan rumput yang luas, Jiseok tampak mencolok di antara kepala anak-anak yang rambutnya sewarna bara jelaga. Senyumnya merekah setiap salah satu tim mencetak angka, tawanya yang diikuti sorakan kecil menggema di sepanjang penjuru area. Lapangan yang biasanya sepi kini ramai diisi oleh kelakar kekanakan.
Desa ini sebagian besar diisi oleh manusia lanjut usia, atau orang dewasa yang terlalu malas berkutat dengan hiruk pikuk kota. Sekali lagi Jiseok menjadi sebuah anomali dengan presensinya yang hangat. Anomali yang membuat Gunil berpikir, apakah kehidupannya akan penuh dengan antusiasme seperti itu apabila ia memutuskan untuk mengambil jalur musik.
Seiring dengan penyimpangan itu, setangkai keganjilan lain tumbuh dalam hati Gunil; bahwa semakin lebar senyuman yang ditampilkan Jiseok, semakin ia ingin melindunginya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak dapat melihat Jiseok seperti ia melihat Jungsu. Jiseok selalu menatap matanya seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang tidak ia ketahui.
Semakin besar pula kekhawatirannya yang tak beralasan.
.
Ada satu kejanggalan yang membuat Gunil memperhatikan pria mungil itu lebih sering dari seharusnya, tentang kebiasaan Jiseok yang bahkan ia sendiri tidak sadari. Selama ia menetap di sini, sering kali Gunil mendapatinya melamun dengan tatapan kosong seakan terputus dari dunia di sekitarnya. Seperti di hari pertama saat ia memandangi lukisan langit merah itu lekat-lekat, atau saat matanya tertuju pada olesan selai roti Jungsu kala itu. Awalnya ia kira Jiseok hanya sedang lelah, atau sedang begitu tertarik dengan apa pun yang ada di hadapannya.
Petang ini terjadi lagi.
Ia menatap kosong pada etalase yang memajang pastry, menghalangi beberapa pengunjung yang hendak membeli. Toko hari itu sedikit lebih ramai, karena cuacanya sedang hujan dan yang mampir sekaligus berteduh. Gunil yang sore itu tidak sedang jaga shift lantas menariknya sebelum ia tertabrak oleh orang lain yang mengantri.
“Ada apa? Jangan melamun di situ. Kau menghalangi jalan,” tegur Gunil saat mereka sampai pada pojok ruangan yang cukup sepi.
“Oh ... maaf,” Jiseok masih sedikit linglung.
“Kenapa? Kau bosan makan roti?”
“Eh? Nggak, kok! Aku lagi mikir mau roti apa tadi,” Jiseok mencoba mengelak.
Mungkin itu adalah bohong besar. Gunil dan anak-anak band tahu betul bahwa ia dan Jooyeon adalah orang yang paling rewel soal makanan. Jiseok bahkan bisa saja hanya makan ayam goreng selama seminggu berturut-turut karena tidak ada makanan lain yang mampu membuatnya berselera.
Lamunan itu memberi Gunil sebuah ide. “Oh, tetangga sebelah kemarin baru memotong ayam. Mau aku buatkan ayam goreng?”
“Nggak usah! Serius, aku gapapa,”
“Nggak apa-apa, jangan sungkan. Nggak ada yang makan juga. Mau apa? Yangyeom?”
“Ah ... itu ...” Jiseok mengalihkan pandangannya. “Aku ... lagi nggak ingin makan itu.”
Gunil tertegun. Pada akhirnya ia hanya mengangguk, setidaknya Jiseok mengatakan apa yang ia inginkan.
“Kalau begitu, kita ke dapur saja untuk lihat bahan-bahan.” Gunil menggandeng tangan Jiseok dan sebelum ia kembali mengelak, Gunil telah menyeretnya ke dapur yang ada di penginapan. Ia mendudukkan Jiseok di meja makan dekat jendela, lalu berpaling pada lemari bahan.
“Karena hari sedang hujan, kau mau samgyetang?” Gunil mengeluarkan satu pak bahan herbal.
“Oh ... terserah saja.”
Jiseok tampaknya sudah terlalu lelah untuk menolak.
Menanggapi jawaban itu sebagai sebuah persetujuan, Gunil mulai menyiapkan bahan. Tidak seperti biasanya, presensi Jiseok seperti hilang ditelan suara hujan. Gunil sedikit mencuri lirik dari ujung matanya, menemukan Jiseok telah kembali hanyut dalam pikirannya dengan memandangi hujan yang membasahi lapangan dari balik jendela.
Waktu berlalu dan Gunil menunggu masakan matang. Berpikir Jiseok tidak akan berbicara, ia menyibukkan diri dengan membereskan alat-alat masak dan mencuci piring-piring. Ia berbalik dan menemukan tatapan Jiseok kini sedang fokus padanya.
“Kak Gunil beneran bisa masak sekarang?”
Gunil merengut. “Kau kira yang biasa memanggang roti di depan siapa?”
“Hehe, itu kan beda,” Jiseok menyunggingkan senyum jenaka.
“Sama, dong. Sama-sama sulit,” Ia mendengus, namun dalam hati, Gunil merasa sedikit lega karena atmosfirnya sudah mulai mencair. Samar aroma ginseng sudah mulai menguar. Gunil membuka tutup panci dan mengambil sesendok kaldu.
Ia menyodorkan sendok penuh kepulan asap itu pada Jiseok. “Coba dulu,”
Jiseok meniup-niup asap sebelum ia menyeruput dari ujung sendok.
“Ada yang kurang?” tanya Gunil.
“Mmm ... kurang sedikit garam, tapi wah! Rasanya gurih!” Jiseok merespon dengan antusias, matanya melebar seperti anak kecil yang diberi sekantung permen. “Kak Gunil, rasanya enak! Wah, memang kak Gunil bisa melakukan apa pun,”
Gunil berbalik untuk menambahkan garam, sekaligus menyembunyikan telinganya yang memerah. Ia menyiapkan mangkuk dan garnish dalam diam. Tak lama ia mematikan kompor dan segera menyajikan samgyetang di mangkuk.
“Woah. Tampilannya bagus,” Tak hentinya memuji, Jiseok menatap kepulan samgyetang dari dekat ketika Gunil menaruh mangkuknya di meja. “Kak Gunil, mau makan bareng?”
Gunil ikut duduk di depan Jiseok, kemudian menaruh sikunya di atas meja untuk menopang dagu. “Tidak usah. Aku sudah kenyang duluan melihat masakannya,”
Jiseok menatap ngeri. “Kok mencurigakan? Jangan-jangan kak Gunil masukin racun ke dalamnya ...”
“Mana ada,” Gunil melantunkan tawa kecil. “Kau kan lihat tadi aku masukan apa saja?”
Jiseok terlalu sibuk mencicipi samgyetang untuk merespon kata-katanya. Sendok demi sendok ia nikmati dengan khidmat, tak memedulikan Gunil yang sedari tadi memperhatikannya dalam diam. Pemandangan itu menghasilkan seulas senyum tipis pada wajah Gunil.
Sepertinya memang sesederhana itu rasanya bahagia.
[ 5., Biru ]
“Kak Jiseok, ayo nyanyi lagi!”
Gunil baru saja pulang dari toko bahan kue ketika ia mendengar suara samar petikan gitar dari halaman penginapan. Di bawah langit biru, anak-anak tetangga duduk dengan patuh di atas rerumputan sementara Jiseok menjadi titik pusat magnetnya. Mereka tak kunjung sadar bahwa yang punya kediaman telah tiba.
“Aduh, kakak capek nih,” Jiseok melebih-lebihkan ekspresinya. “Kalian aja yang nyanyi, nanti kakak yang mainin musiknya, gimana?”
“Yah, kok gitu! Katanya kakak penyanyi ...” seorang anak merajuk, diikuti kicauan lainnya. Jiseok tampak kesulitan. Mau tak mau, Gunil ikut tersenyum melihatnya.
“Ya ... udah ... kalian mau nyanyi lagu apa lagi?”
“Nyanyiin lagunya kak Jiseok, boleh?” Gunil tiba-tiba menyahut dari jalan setapak.
Seluruh manusia menoleh pada sumber suara. Karena orang yang ditunggu telah hadir, anak-anak lekas melupakan misinya dan ikut berdiri.
“Kak Gunil udah sampai! Kakak bawa kue?” Suara anak-anak berubah menjadi manis saat bertemu Gunil.
“Kue titipan Ibu Kim ada di Jungsu, ya. Kalian langsung ke bakery saja. Maaf ya sudah menunggu,”
“Oke! Kak Jiseok dadah!”
Setelah lambaian tangan anak-anak dibalas oleh senyum paksa Jiseok, derap langkahnya mengiringi kepergian mereka. Gunil masih tertawa kecil melihat garis senyum Jiseok yang berubah menjadi kerucut sebal saat mereka pergi.
Gunil berjalan menghampiri pria yang masih menatap keprgian anak-anak itu. “Musisi Jiseok, ya?”
“Eh, kak ... maaf sembarangan pakai gitarnya ... aku dikerjain,” Jiseok meringis, hendak mengembalikan gitar kepada sang pemilik―yang langsung ditolak olehnya.
“Nggak apa-apa. Memang gitar ada untuk dimainkan,” Gunil ikut duduk pada rerumputan. “Request anak-anak kan, sudah. Sekarang ayo mainkan yang aku request tadi,”
Jiseok tampak tidak nyaman. “Harus?”
“Aku sudah duduk manis, nih.”
Jiseok memeluk gitarnya, pandangannya menerawang. Gunil masih menunggu dengan sabar.
“Hmm, aku mainkan yang lain, gimana? Kalau mau dengar laguku langsung ke aplikasi musik saja, supaya aku dapat royalti,” putus Jiseok, yang disambut oleh tawa Gunil.
Tanpa menunggu jawaban selanjutnya, Jiseok memainkan beberapa nada. “Kak Gunil tahu lagunya?”
Gunil menggeleng. “Coba lanjut main dulu.”
Jiseok kembali memetik senar.
“I've~ been quitely living, In a deep tunnel that swallowed up the light.”
Gunil mengerutkan dahi. “Nggak tahu.”
“Ih, ayo usaha dulu.”
On the dark road ahead, I can't see a single step ahead. I can't see anything, I can't feel anything.
Wajah Gunil tidak menunjukkan pencerahan. Jiseok menghela napas.
“Colors,” ucapnya setelah menghentikan permainan. “Lagunya Day6. Memang tidak seterkenal single debut-nya, tapi lagunya pengen banget aku nyanyiin untuk Kak Gunil,”
Gunil mengangkat sebelah alis. “Liriknya terdengar depresif. Apa aku terlihat sesedih itu?”
“Ih, enggak begitu!” Jiseok meringis. “Dengerin semuanya makanya. Lagunya bagus! Soalnya di mataku, kak Gunil kayak warna matahari terbenam,”
“Karena warnanya meredup?”
“Kok nganggepnya negatif terus, sih,” Jiseok merengut. Tawa Gunil ikut berdering.
“Lagi kau ini kenapa dari dulu suka sekali menggombal. Kalau aku betulan jadi suka, kau mau apa?”
“Kakak mikir aku lagi ngegombal?!” Jiseok terlalu terkejut hingga ia terlambat memproses kata-kata selanjutnya. “Sebentar. Hah?? Gimana?”
Gunil tak menghiraukan pertanyaannya. Ia malah memalingkan muka, berharap pipinya yang memanas tidak segera tertangkap basah. “Lagipula, dibanding warna matahari terbenam, mungkin aku lebih cocok jadi warna putih.”
“Hmm, masuk juga,” Jiseok langsung mengamini. “Emangnya kenapa?”
“Soalnya kosong. Warnanya membosankan,”
“Kok gitu! Jangan diskriminasi warna putih kayak gitu!”
Gunil tertawa. Entah sudah berapa kali Gunil menertawakan anak laki-laki berambut gulali ini. Ia bahkan tidak pernah tertawa selepas ini bersama Jungsu. Barangkali karena pada dasarnya mereka tidak pernah saling cinta.
Lantas pikiran itu terlontar kembali dari mulutnya. “Kau ini lucu, Jiseok-ah. Kalau lama-lama aku jadi sayang, bagaimana?”
“Heh?! Kak Gunil tuh ya, nggak cocok ngegombal. Kasih aba-aba dulu kenapa!” Jiseok meringis.
“Memangnya lagi mundurin mobil harus kasih aba-aba ...”
“Tapi kak, aku serius,” Jiseok menatap Gunil lekat-lekat. “Jangan sayang sama aku,”
“Apa―”
“Jangan. Jangan aja,” Jiseok mengangkat bahu. “Aku aja yang sayang kakak, tapi kakak jangan sayang balik. Aku nggak layak. Terus nanti, kakak jadi sial, lho,”
“Apaan sih, kok jelek kata-katanya,” Gunil mengernyit. “Nggak ada yaag nggak layak untuk disayang, Jiseok. Memangnya kamu barang rongsokan, apa ...”
“Ya udah kalau dibilangin nggak percaya juga,” Jiseok mendengus. “Ta―”
“Jangan. Jiseok juga jangan percaya,” potong Gunil sebelum ia mengalihkan pembicaraan. “Memang siapa yang ngomong begitu? Nanti biar aku suruh kucing hitam main ke rumahnya.”
Jiseok terpana sebelum ia melepas tawa. “Memangnya kak Gunil percaya hal begituan?”
“Nggak. Biar mereka takut saja,” Gunil ikut menyeringai. “Nah, seperti itu. Kalau Jiseok tertawa, jadi lebih manis.”
“Kak, stop ngegombal. Itu tugas aku!”
“Makanya, berhenti berbicara yang jelek-jelek. Kalau ada yang berani bilang begitu padamu, kau harus sembunyi di belakangku. Biar aku yang marahi,” Gunil memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. Ia akhirnya berdiri, menawarkan uluran tangan pada Jiseok yang masih duduk di rerumputan. “Ayo, kita makan siang.”
[ 6., Nila ]
Seharusnya hari ini adalah hari biasa yang tidak akan Gunil rekam baik-baik dalam kepala.
Ia masih menghitungi produksi susu sapi, mengecek bahan roti, menyirami kebun bunga lily. Terkadang ia berpapasan dengan Jiseok; raganya ia temukan dari balik jendela, sedang membantu tetangga sebelah mengangkut karung kentang dan ikut bakar-bakaran untuk makan siang bersamanya. Baru saja seminggu berkenalan, ia telah menjadi anak kesayangan para warga.
Besok Jiseok akan pulang.
Entah pulang, atau kembali ke kota besarnya yang penuh huru hara, Gunil tidak tahu. Ia tidak punya keberanian untuk bertanya semenjak percakapan kemarin―mungkin saja memang ada yang benar-benar terjadi pada karirnya. Mungkin memang seberat itu tuntutan dunia hiburan.
Sehebat itu pula ia dapat menyembunyikannya dengan baik.
.
Sore itu, Gunil baru kembali dari mengantar susu ketika ia menemukan Jiseok berdiri di bibir pantai. Langit hari itu sudah segelap refleksi laut yang ada pada naungannya. Ombak-ombak bergulung dengan agresif, gemuruhnya dapat terdengar bahkan sebelum Gunil datang menghampirinya.
“Jiseok,” Gunil memanggil, berharap suaranya dapat mengalahkan suara amarah ombak. Tidak ada respon. Gunil meminggirkan sepedanya untuk kemudian berjalan mendekatinya.
“Jiseok.”
Kali ini Jiseok menoleh; matanya sayu dengan tatapan kosong seperti yang ia temui tempo hari. Seiring dengan pandangannya yang bertemu netra milik Gunil, kesadarannya seakan muncul kembali ke permukaan. Ia lekas melempar sebuah senyum familiar.
“Kak Gunil,” Jiseok menyapa riang.
“Lagi apa?” Gunil refleks mengulurkan tangannya. “Kok belum pulang. Di sini air pasangnya sedang tinggi, kau bisa terbawa ombak,”
Jiseok terlihat sedikit bingung, tapi ia tetap menyambut tangan Gunil. “Aku baru tahu di sini ada pantai,”
Mereka berjalan meninggalkan pantai; pasir-pasirnya yang lembek karena siraman air laut membuat kaki-kaki mereka hampir tertelan.
“Ada. Sayangnya kau terlalu sibuk bermain dengan anak-anak,” tutur Gunil, disambut oleh kekehan Jiseok yang berjalan di belakangnya. “Nanti lagi kalau kau kemari, kita bisa jalan-jalan melihat matahari terbenam. Kau besok jadi pulang? Atau kembali ke kota?”
Tidak ada jawaban. Gunil berhenti lalu membalikkan badan, bertemu dengan sosok Jiseok yang kini sedang menunduk dengan tatapan kosong.
Suara ombak kembali mengisi keheningan di antara mereka.
“Jiseok.”
“Eh. Oh?” Jiseok yang sedikit tersentak mengangkat kepalanya, menatap manik mata Gunil dengan tidak fokus. “Maaf kak, kenapa?”
Gunil menerawang, meneliti setiap detail dan garis wajah yang barangkali dapat menjadi petunjuk terkait seluk-beluk rahasia Jiseok. Tentang rambut gulalinya yang tertiup angin pantai, atau iris cokelat matanya yang berkilau di bawah cahaya lampu, atau garis tawanya yang tak pernah benar-benar menghilang.
Tapi tidak ada. Mungkin ia tidak begitu ahli. Atau mungkin Jiseok yang terlalu ahli menyembunyikannya.
Ia hanya punya satu pilihan. “Kau baik-baik saja?”
Juga Jiseok yang memiliki pilihannya.
Jiseok membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu. Namun perkataannya seakan hilang ditelan udara. Ia terdiam untuk sesaat, sebelum akhirnya ia kembali menutup mulutnya dan kembali menunduk. Terdengar helaan napas sebelum ia kembali mengangkat kepala.
“Gapapa, kak. Cuma capek aja mungkin, maaf ya,”
Meski sangat samar, Gunil menyadari getaran dalam kalimatnya. Lantas ia menatap manik mata itu lekat-lekat, apakah alasan lelah yang ia maksud tertulis pada bayangan matanya.
Gunil menyerah.
Pada akhirnya ia hanya berani memberi afeksi; dengan refleks ia menyisiri poni Jiseok yang sudah memanjang, agar ujung helainya tak menusuk mata. “Ya udah,” ia kembali menggenggam tangannya, seakan Jiseok dapat menghilang terbawa angin. “Ya udah. Kita pulang sekarang, dingin,” ia kembali berjalan, diikuti Jiseok yang masih diam terpana.
“Kak Gunil, aku boleh genggam hatimu juga, nggak?”
Boleh, seharusnya Gunil jawab begitu. Pegang saja erat-erat, asal kau tidak pergi.
Harusnya Gunil memang tidak pernah menyerah.
[ ]
Jungsu yang biasanya mengantar roti ke toko-toko di kota, kini sedang panik karena harus mengantar anjingnya yang sakit semalam. Maka pada hari itu, Gunil yang bertugas untuk mengantar roti ke kota. Kota yang ia kunjungi tak cukup bising; namun cukup informatif untuk mendapat berita-berita baru. Terutama pada toko tempat ia menaruh roti, tak jarang mereka menyetel televisi untuk menciptakan suasana ramai. Apalagi pemiliknya sering menggandrungi segala informasi dari berita politik hingga musik.
Hari itu, Gunil menaruh roti-roti pada etalase berlampu kuning, sembari setengah mendengarkan sang pemilik yang mengajak diskusi. Jawabannya tak jauh dari “Oooh” atau “Hmm,” memberitahu bahwa ia masih mendengarkan dengan khidmat. Roti terakhir ia masukkan, kemudian ia tutup pintunya dengan rapat. Tak sengaja ia bertemu pandang pada sosok manusia yang tampil di layar televisi.
Hatinya seketika mencelos.
Sosok yang yang muncul pada layar televisi nampaknya terlampau familiar di mata Gunil ― seharusnya, memang begitu. Karena ia adalah musisi. Pekerjaannya mengharuskan ia untuk muncul di layar kaca setiap hari. Tetapi kepala berita yang menaunginya membuat janggal.
Ia dikabarkan telah menghilang selama enam hari.
Agensi menemukan apartemennya dalam keadaan kosong, yang mana setelah diselidiki semua barang-barangnya telah dijual oleh sang pemilik. Semua kontak padanya telah diputus; keluarganya juga tidak tahu-menahu dengan kepergiannya. Layaknya buronan, para polisi tengah berusaha mencari jejak-jejak terakhir sebelum ia dikabarkan menghilang.
“Nak Gunil, ada apa? Tumben menonton berita?”
Ibu penjaga toko datang menghampirinya, barangkali sedikit khawatir karena ia tak kunjung beranjak dari layar.
“Gaon ...” Gunil menunjuk pada layar, namun tak tahu harus berkata apa.
“Oh, Gaon? kamu mengikuti beritanya juga?” ia bertanya dengan mengangkat alis, tertarik mengetahui hal baru tentang Gunil.
“Eh .... tidak ... memang dia kenapa?”
“Dia akhir-akhir ini sering masuk berita, tapi karena kontroversi,” tuturnya menjelaskan. “Kasihan, nak Gunil. Mungkin usianya tidak jauh beda denganmu, tapi ia selalu terlibat berita miring. Padahal setelah diselidiki semuanya tidak benar, tapi tidak ada yang mau mendengarkan. Bahkan meskipun ia sudah meminta maaf. Sampai kabar terakhirnya, ia memutuskan untuk break dari dunia hiburan karena kondisi kesehatannya. Tapi, kalau beritanya jadi begini ...” Ibu pemilik menggeleng pelan, ikut menatap layar kaca. Memperhatikan sosok manis berambut ungu yang masih jadi sorotan berita utama.
“Padahal karya-karyanya sangat bagus. Semoga dia tidak apa-apa ...”
.
Gunil melajukan mobilnya seperti sedang kesetanan. Beberapa kali ia mencoba menghubungi Jungsu, namun tak ada hasil. Barangkali ia masih di dokter hewan, atau ponselnya tak ia bawa, atau seribu hal lain yang mungkin terjadi.
Tapi yang ia tahu, Jungsu baik-baik saja. Jiseok tidak.
Gunil telah sampai pada penginapan, tak sempat pula ia menutup pintu mobil. Ia bergegas pada ruangannya, mengambil kunci cadangan pada gantungan di balik pintu, lalu berlari menuju lantai dua. Dalam sekejap, kamar bernomor enam sudah muncul di depan mata.
Gunil mengetuk pintu dengan sedikit panik. “Jiseok,” Gunil memanggil, “Kau sudah bangun?”
Hening. Bahkan sekali pun tak ada suara kehidupan dari dalam. Gunil kembali mengetuk. “Jiseok,” Gunil memanggil lebih keras. “Jiseok, aku mau bicara. Penting,”
Masih tak ada jawaban.
Tak sabar, Gunil menyiapkan kunci-kunci cadangannya. “Jiseok, aku masuk,” ia kemudian menancapkan kunci yang tepat pada lubangnya. Lalu ia menyadari ada satu lagi kejadian tak terduga yang membuat jantungnya serasa jatuh ke rongga perut.
Pintunya tidak dikunci.
Tangannya membatu pada gagang kunci, berhenti mencoba untuk memutarinya. Dengan gemetar, Gunil mulai mengangkat tangannya untuk meremat gagang pintu dan menurunkannya. Pintunya terbuka.
Kehadiran Jiseok selama seminggu terakhir seakan-akan terasa seperti mimpi panjang.
Kamar yang dimasukinya terlihat bersih, tirai-tirainya dibuka agar cahaya pagi dapat masuk melalui jendela. Tempat tidurnya rapi seakan tidak pernah ditiduri. Gunil benar-benar berpikir mungkin ia sedang bermimpi jika tidak ada tumpukan baju yang ia pinjami di atas tempat tidur. Tidak, ia tidak sedang bermimpi. Ia ingat betul baru kemarin sekali ia membantu Jiseok menjemur baju-baju itu; karena apabila tidak dipakaikan jepit jemuran, bajunya akan terbang terbawa angin.
Jiseok masih tertawa lepas kala itu.
Di atas lipatan baju yang rapi, ada serenceng kunci kamar dan dompet Jiseok yang masih lengkap dengan sejumlah uang dan kartu identitas miliknya. Semakin lama ia pandangi, semakin terasa kakinya untuk berpijak mulai kebas.
Gunil kembali mengedarkan pandangan pada seluruh ruangan. Ada sebuah tulisan panjang tertera pada kertas memo yang biasa Gunil siapkan pada setiap kamar penginapan. Dengan terhuyung Gunil berjalan menuju meja dekat jendela. Ada harapan kecil bahwa pesan yang ditinggalkan Jiseok barangkali sebuah petunjuk surat pamit untuk pulang ke kota, atau izin bermain ke kolam tetangga, atau bahkan gombalan receh untuk meminta tambahan telur dadar.
Tapi tidak ada. Yang ada hanyalah kertas buram pada pandangan Gunil yang kini mengabur.
Dari jauh, suara raungan sirine mobil polisi samar-samar mulai terdengar.
[ ■■■■ ]
“Dalam pikiranku, konsep warna sesungguhnya hanyalah sebuah ilusi.
Kelas fisika dasar mengajarkan kita bahwa warna yang kita lihat adalah hasil dari pantulan gelombang cahaya yang masuk ke mata. Karena itu, ketika tidak ada cahaya, gelap yang menelan segala benda berwarna apa pun pada akhirnya akan dilambangkan dengan warna hitam.
Begitu pula dengan kehidupan.
Percayalah, ketika ada seribu orang yang mencoba meyakinkanku bahwa hidupmu semonoton warna monokrom, sampai kapan pun aku tidak akan menghiraukannya. Karena monokrom tidak monoton. Monokrom adalah warna tunggal. Tapi kau adalah putih.
Ketika kau mengatakan bahwa hidupmu adalah manifestasi dari warna putih, aku langsung mengamininya tanpa alasan berarti. Harusnya kukatakan ini, alasannya―agar kau tak memandang kehidupan impianmu terlampau rendah. Agar kau tahu bahwa warna putih adalah warna yang paling kaya sejagat raya; kau letakkan sebongkah prisma di antaranya, dan putih akan memecah menjadi berbagai warna yang tiada habisnya. Begitu pula dengan kehidupanmu, kak Gunil, yang selalu hangat dan dikelilingi orang-orang baik di sekitarmu.
Dari jutaan orang yang selalu kumintai maafnya, permohonanku yang paling tulus ingin aku tujukan kepadamu.
Tepat di hari ketika aku datang, aku sudah memutuskan untuk menghilang dari kehidupan. Lalu pada hari itu pula, aku bertemu kau―dengan wajah kusutmu yang terlihat baru bangun tidur, kau sudah mengelapi jendela kamar dengan sabar. Di hari itu pula, sepertinya aku telah meniti karir baru menjadi seorang pembohong ulung.
Begitu pula aku merasa terlena menjadi seorang pembohong―karena itu, semua orang tiba-tiba menyayangiku. Begitu terlena rasanya sampai aku lupa, bahwa aku hanyalah manusia nista, yang tak pantas hidup bersanding dengan cahaya-cahaya. Dengan keegoisanku yang membara, aku menikmati hidup seakan-akan aku adalah bagian dari mereka, seakan aku adalah bagian dari kau.
Tapi dari sekian orang yang kudustai, tak pernah sedikit pun aku menyesal membohongimu. Bak laron yang haus akan cahaya, aku senang berputar mengitari duniamu. Berharap menemukan hidup. Berharap menemukan warna. Di mana seharusnya aku telah berhenti sejak lama.
Walau setitik saja rasanya aku berharap dapat hidup normal sepertimu, seperti memanggang roti atau menikmati segelas kopi dan mengurusi sapi-sapi, pada akhirnya aku sadar aku tak pantas membayangkan kehidupan itu. Aku tak pantas membayangkan hidup denganmu. Serakah rasanya ketika aku masih mengharapkan sebuah ujung yang bahagia dari kehidupan yang telah sekarat.
Aku meminta maaf untuk itu. Kak Gunil, aku minta maaf untuk semua perasaan bahagia yang bahkan aku tak pantas menerimanya selama garis hidup kita saling bersinggungan. Untuk bagian kecil yang masih berharap dapat hidup bersamamu. Untuk janji-janji yang ingkar. Untuk kebohongan-kebohongan murah dengan berpura-pura menjadi cahaya.
Andai kata ada hari di mana Tuhan Yang Maha Baik mau memberikanku kesempatan kedua dan kita dapat bertemu kembali, izinkan aku memohon kepadamu untuk mengajariku tentang warna-warna pada langit terbenam; agar aku tak lagi tersesat untuk menemukan jalan pulang.”
(edited for: part II / alternate after ending.)