teralis air hujan
(for jungseok) part of a bigger universe that doesn't have a title yet.note. school laws and stuff might be inaccurate, i apologize in advance.
Air-air yang turun deras dari langit tak menghalangi Jiseok untuk bergegas menuju lantai teratas bangunan ringkih itu.
Ia berlari menaiki tangga-tangga curam yang licin, berusaha berpegangan pada gagang besi yang juga telah terbasuh air. Ia tidak peduli apabila salah satu kakinya dapat tergelincir; tujuannya saat ini hanya sampai pada bagian atapnya. Karena ia tahu, yang ia cari ada di sana; walau ia tak yakin ia akan mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya. Meskipun pertanyaan itu kini telah terganti oleh kilasan peristiwa hari ini yang terus berputar di kepalanya tanpa henti.
.
Lantai 2.
.
Surat Permohonan Pengunduran Diri Sebagai Siswa.
Jiseok melihat semuanya. Berkas-berkas serta lembaran duplikasi yang berserakan pada laci meja Jungsu, juga nama yang tercetak di dalamnya. Ia tak bertemu dengan Jungsu seharian ini, atau barangkali Jungsu yang memang sengaja menghindarinya; kemudian, tak sengaja ia temukan kertas-kertas itu bagai kotak pandora yang terbuka.
Pengunduran diri.
Surat pengunduran diri dari sekolah.
Setelah sekian lama ia bertahan, pada akhirnya Jungsu menanggalkan salah satu mimpi terbesarnya.
.
Lantai 3.
.
Ruang guru itu tampak sepi, kecuali dua sosok yang tampak serius bercakap. Jiseok membatu di balik pintu, tak jadi melangkah masuk untuk sekedar menyerahkan hasil soal latihan karena pembicaraan antar dua insan tersebut jauh berkali lipat lebih penting.
“Kamu benar-benar berhenti sekolah?”
Tak terdengar jawaban. Jiseok mengintip ke dalam, dan disambut oleh anggukan pelan dari sosok yang membelakanginya.
“Kamu tahu, ijazah sekolah sangat penting untuk mencari pekerjaan?” wali kelasnya itu menghela napas. “Kamu kira kamu bisa bekerja part-time selamanya?”
“Maaf,” Jungsu hanya dapat menjawab lirih.
“Saya bisa saja mengajukan beasiswa atau keringanan biaya, tapi hasil studimu juga ...” ia kembali menggeleng. “Untuk apa sekolah mempertahankan siswa yang sering bolos sekolah dengan nilai yang buruk?”
Keheningan itu membuat Jiseok pengar. Pikirannya semakin kalut oleh pembelaan-pembelaan yang ingin ia lontarkan. Bagaimana bisa Jungsu belajar dengan baik jika ia bekerja tak ada habisnya? Toh sebulan terakhir ini ia sudah berusaha keras untuk mengikuti semua yang Jiseok ajarkan, dan nilainya sedikit demi sedikit mulai meningkat. Apakah itu tak bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan?
Tapi sistem tetap sistem. Sistem yang mengatur ratusan manusia takkan peduli jika hanya ada satu-dua orang yang tercampakkan karena tak mampu menuruti aturannya.
Sebelum keheningan itu mulai memekakkan telinga hingga Jiseok cukup berani untuk menengahi mereka, Jungsu kembali berbicara.
“Maaf. Saya terlalu sibuk bekerja karena adik saya sebentar lagi akan masuk SMA. Saya memang kurang bekerja keras dalam belajar, dan saya kurang mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Sekali lagi saya mohon maaf,” kemudian Jungsu membungkuk sopan. “Terima kasih atas bimbingannya selama ini.”
Sebelum Jungsu berjalan keluar, Jiseok sudah pergi meninggalkan ruang guru itu.
.
Lantai 4.
.
Semakin tinggi lantainya, semakin terasa sesak rasanya. Jiseok merasakan matanya memanas, walau sudah sekian kali ia terciprat air hujan. Apa harus ia merasa setidak berdaya ini? Ia bukan Jungsu, namun ia merasa seakan-akan ikut terjebak dalam ruang kecil dengan jeruji air hujan yang terus mengalir tanpa henti. Apa tidak ada cara lain yang dapat diusahakan? Apa sebegitu senangnya Tuhan bercanda dengan seorang anak yang selalu mengusahakan segalanya untuk berjalan dengan seharusnya?
Sesulit itu kah beranjak dewasa dengan tempo yang semestinya?
.
Jiseok sampai pada bagian atap.
.
Dan Jungsu memang ada di sana.
Tali-tali tempat jemuran itu sudah lengang, kecuali pakaian-pakaian Jungsu yang masih menggantung di sisi kirinya. Basah kuyup. Pun begitu, Jungsu tak beranjak selangkah pun untuk mengangkatnya.
Ia hanya berdiri di sana, entah sudah berapa lama. Karena rambut dan seragam yang masih ia kenakan itu tampak sama basahnya.
Jiseok yang panik refleks berteriak, mengejutkan sosok yang sedari tadi masih diam mematung. “Hei, angkat dulu jemurannya!”
Jungsu menoleh. Jiseok yang melihat raut wajahnya seketika terdiam. Walau tatapannya kosong, ada samar rona merah di sekitar mata dan hidungnya.
“Untuk apa?” tanyanya kemudian. “Diangkat juga sudah terlanjur basah. Nggak ada yang bisa aku lakukan dengan baju-baju itu.”
Jungsu kembali melihat jemuran basah itu dalam diam. “Nggak ada,” ia perlahan duduk berlutut. “Bahkan aku nggak becus mengurusi hal-hal kecil seperti ini ...”
Jiseok sudah tidak sanggup. Ia ikut duduk di sampingnya, memeluknya erat-erat. “Bukan salahmu,” Jiseok berkata, kini terisak. “Bukan salahmu. Itu bukan salahmu, Jungsu-ya ...”
Seakan tersadar oleh isakan Jiseok, Jungsu akhirnya menoleh. “Kenapa?” Jungsu melepas rangkulannya, menangkup wajah Jiseok yang tangisannya bercampur dengan rintik hujan. “Kenapa kamu nangis? Padahal nggak apa-apa, kok. Besok bisa aku cuci lagi bajunya,”
“Tapi belum tentu besok cerah. Belum tentu airnya akan menyala. Belum tentu ada tempat tersisa buat menjemur pakaian-pakaianmu. Kenapa?” Jiseok masih terisak. “Kenapa hidup rasanya terlalu sulit buatmu?”
“Ji—”
“Aku tahu,” potong Jiseok, “Aku tahu kamu mengajukan pengunduran diri dari sekolah hari ini.”
Jungsu diam membeku.
“Terus kamu mau apa?” Jiseok mulai meracau. “Apa yang bakal kamu lakukan sesudahnya? Biaya sekolah adikmu bukan tanggungjawabmu. Apa kamu nggak bisa menjadi egois dan hidup seperti anak normal, datang ke sekolah dengan tepat waktu tanpa babak belur atau ngantuk berkepanjangan?”
Jungsu menurunkan tangannya, juga tatapan matanya. Keheningan kini diisi oleh suara hujan yang masih turun dengan deras.
“Aku minta maaf,” di antara suara rintiknya, Jungsu berbisik. “Tapi mereka sudah jadi bagian dari hidupku. Ada hidup adikku yang harus kuperjuangkan supaya ia tak bernasib sama sepertiku. Hidup ibuku yang harus kulindungi. Hidup ayahku dan titelnya sebagai kepala keluarga. Bagaimana jadinya jika mereka tidak ada? Aku bukan siapa-siapa tanpa mereka.”
Jiseok tidak setuju. Di matanya, Jungsu tetaplah Jungsu. Jungsu yang kelakuannya seperti seekor kucing besar. Jungsu yang tidak menyukai kopi pahit. Jungsu yang selalu tertawa akan hal-hal kecil. Jungsu yang selalu memesan tteokbokki, tak peduli seberapa panas cuaca pada hari itu. Jungsu yang suka menunjukkan tempat-tempat tersembunyi yang indah, atau yang selalu menyemangatinya ketika Jiseok selalu mengeluh seputar sekolah atau pertengkaran dengan ibunya.
Jungsu adalah Jungsu, dan itu adalah Jungsu yang Jiseok kenal. Tapi selama ini Jungsu selalu berpikir seakan-akan ia tidak memiliki identitas atas dirinya sendiri.
Kali ini Jungsu yang balas memeluk terlebih dahulu. Walau keduanya telah basah kuyup, gestur itu mengalirkan sedikit kehangatan pada Jiseok yang tak sadar sudah gemetar karena kedinginan.
“Maaf aku sudah mengecewakanmu. Maaf karena aku gagal menjadi apa yang kamu ekspektasikan. Karena ketika kamu bilang kalau aku selalu terlihat penuh akan kehidupan, mungkin sesungguhnya aku hanya hidup untuk orang lain.”