tentang burung gereja

#xh

(for gayeon) part of halcyon universe.


Sudah tiga kali Jiseok menemukan bangkai burung gereja di jalan.

Yang petama ia temukan di halaman parkir depan apartemen. bentuknya masih utuh, hanya saja seekor burung tentunya tidak akan berbaring di tengah jalan begitu saja. Yang kedua ada di jalan setapak, yang untung hanya ia lihat selewat karena sedang terburu-buru. Kepalanya terlihat sudah setengah hancur dimakan waktu. Yang ketiga ada di tengah taman kampus; walau jasadnya bersembunyi di balik semak-semak tebal, Jiseok tak sengaja melihatnya.

.

“Apa bakal ada pertanda buruk, ya?”

Jiseok mengaduk ice latte di depannya dengan tidak berselera.

Jooyeon mengernyit setelah ia selesai mendengar cerita Jiseok. “Ngawur 'kan, omongannya.”

“Ih, serius. Udah berapa kali aku lihat burung mati hari ini,” dahi Jiseok ikut berkerut, walau saat ini ia sedang tidak menatap Jooyeon.

“Mungkin cuma kebetulan. Nggak usah dipikirin,” Jooyeon mencoba mengalihkan perhatian Jiseok yang sedari tadi menatap es-es meleleh dalam gelasnya. “Kamu masih ada urusan? Kalau nggak, mau pulang?”

Jiseok menghela napas, lalu akhirnya berdiri. “Nggak ada, sih. Pulang yuk,”

Mungkin, pulang bersama Jooyeon akan menghindarinya dari hal-hal aneh.

.

Burung keempat ia temukan di depan minimarket dekat tempat tinggalnya.

Waktu itu Jooyeon sedang berbelanja makanan ringan, dan Jiseok memilih untuk menunggu di luar. Saat ia menunggu di dekat pintu, saat itu pula ia menemukan seekor burung tergeletak tak jauh dari jarak sepatunya berpijak.

Rupanya tak semengerikan burung kedua yang ia temui, namun warnanya telah menggelap karena basah kuyup. Matanya setengah membelalak, seakan ia mati karena kesakitan. Jiseok memandanginya selama beberapa saat sebelum seseorang menerbangkan sebuah tisu ke atas jasadnya.

“Jangan dilihatin lama-lama, nanti dia nggak bisa pergi dengan tenang.”

Jiseok menoleh, menemukan Jooyeon yang menatapnya dengan tatapan sendu sebelum ia akhirnya mengangkat alis.

Jiseok berkedip. “Kamu udah beres?”

“Daritadi kamu kupanggil lho, tapi kamu nggak nengok-nengok.”

“Oh ...” Jiseok menelan ludah. “Maaf.”

Hening. Jiseok menjadi tidak enak sendiri karena ia telah merusak suasana sejak ia bercerita tentang burung-burung itu pada Jooyeon. Namun saat Jiseok berencana untuk mengajaknya pergi, Jooyeon kembali berbicara.

“Mau dikubur?”

” ... Huh?”

.

Setelah itu, mereka benar-benar menguburnya—dengan Jooyeon yang merampok setengah lusin tisu yang disediakan untuk minuman dingin di minimarket, ia membungkus jasad burung itu rapat-rapat dan membawanya ke taman bermain terdekat. Ia duduk di pinggir jalan setapak, yang disampingnya terhampar tanah gembur yang tertutupi semak-semak. Jooyeon menggali sebuah lubang dengan tangan kosong.

Jiseok yang merasa semakin tidak enak mencoba untuk membantunya, tapi lengan Jooyeon telah menghalanginya duluan. “Jangan, kotor,” begitu ucapnya, yang membuat dahi Jiseok berkerut. “Kamu cari bunga-bunga liar saja,” tambahnya, dan Jiseok menurut saja.

Saat ia kembali, Jooyeon sedang pergi mencuci tangan dan jasad burung itu sudah terkubur dalam gundukan tanah. Diam-diam Jiseok mengembuskan napas, meskipun sepasang mata burung itu kadang masih membayanginya. Ia menabur beberapa bunga berguguran yang telah ia pungut dari pohon-pohon di dekat taman.

Jooyeon kembali dan ikut berjongkok di sampingnya.

“Udah?” Jooyeon ikut menatap pada hamparan bunga. “Kita berdoa dulu, biar dia dan teman-temannya bisa pergi dengan tenang.”

Maka Jooyeon memejamkan matanya dan mulai berdoa. Jiseok yang masih menatapnya dalam diam, pada akhirnya ikut merapal harap dalam hati.

Selesai dan mereka berdiri. Tak sadar pandangan Jiseok masih melekat pada gundukan tanah itu, sampai Jooyeon kembali memecahkan suasana.

“Mau pulang?”

“Oh, ay—”

“Atau mau peluk?”

“Hah?” Jiseok tertawa kecil. “Kenapa?”

Tapi yang lebih tinggi tidak menjawab. Ia hanya berjalan maju dan memeluknya. Membekukan tawa Jiseok yang tadi sempat lepas.

“Nggak apa-apa, pengen aja,” gumamnya dari balik bahu Jiseok, “aku juga punya anjing di rumah. Jadi, suka ikut sedih kalau lihat ada hewan mati.”

“Oh ...” Jiseok ikut terdiam. Ia akhirnya membalas pelukannya dan menepuk-nepuk punggungnya ringan. “Puk, puk.”

Tapi Jiseok pun tidak bisa berbohong bahwa pelukan Jooyeon membuat keresahannya perlahan meleleh. Dari balik bahunya, ia menatap langit-langit cerah yang sudah mulai menguning karena sore. Kontras dengan burung-burung mati yang ia lihat di tanah, burung-burung gereja itu masih hidup dan berterbangan di langit.

Sesuatu yang terlupakan. Sebuah perasaan nyaman. Sebuah pemikiran positif bahwa semua akan baik-baik saja. Dengan Jooyeon, rasanya ia bisa kembali mengingatnya dengan mudah.

Ia selalu merasa nyaman apabila bersama Jooyeon.

Jiseok kembali melirik pada gundukan tanah itu, lalu memutuskan untuk menenggelamkan kepalanya lebih dalam. Barangkali geraknya terasa oleh Jooyeon, ia kemudian merasakan pelukannya mengerat. Setelah beberapa saat, akhirnya Jooyeon yang melepas pelukannya duluan.

Jooyeon menghela napas, lalu tersenyum tipis.

“Pulang?”

Dalam hati Jiseok menjawab, ia sudah pulang ke rumah.

.

“Aku tadi beli es krim buat kamu, lho. Tapi kayaknya sudah meleleh,”

“Ya udah, kita beli lagi. Sekalian minta maaf ke mbak kasir karena kamu udah ngabisin stok tisu mereka.”