sepucuk surat.

#bsd

for #hariputusbsd.

jam dinding yang kau berikan tiga tahun lalu, hari ini tiba-tiba mati.

ah, tunggu― apa benar hari ini? atau, aku yang baru menyadarinya hari ini?

aku tak bisa mengganti baterainya, kau gantung jam itu terlalu tinggi. biasanya, kau yang menggantikannya untukku.

(mungkin, aku berbohong. mungkin tidak. karena jam itu memang sulit untuk digapai, apalagi setelah kepergianmu.)

karena itu, aku menatap jam itu dengan lama; membayangkan kau yang menaiki kursi pendek dari dapur dan bergegas mengganti baterainya.


hei, odasaku. apa kabar?


apa saat kau pergi, konsep waktu yang mengitarimu juga sejatinya berhenti seperti itu?

apakah tinggimu masih sama? apakah wajahmu masih datar? apakah rambutmu masih merah seperti wine yang biasa diminum oleh chuuya?

(dan bukannya merah darah yang bersimbah di lantai aula sewaktu kau pergi.)

... aku bahkan masih bisa mencium samar aroma rokok yang biasa kau hirup itu.

(rokok terakhir yang kau hisap sebelum kau pergi― asapnya membubung tinggi di langit-langit.)


hei, odasaku, bahkan di sana pun kau masih merokok, ya?


oke―jangan tertawakan aku dan diksiku yang remeh ini. kau tahu aku tidak pernah pandai menulis seperti dirimu.

hei, odasaku, apa kau tahu, aku akan melipat kertas ini menjadi seribu burung bangau?

aku ingat saat kita jalan-jalan pada salah satu kedai makanan di pinggir kota, yang menggantung seribu burung bangau kertas berwarna-warni di langit-langit tokonya.

“burung-burung itu,”

―katamu, menunjuk pada burung-burung kertas kecil yang menari terkena sapuan angin.

“kalau telepon bisa menyampaikan kabar dari tempat yang terlampau jauh, burung-burung itu bisa membawa pesan kita ke surga.”

waktu itu, aku hanya tertawa kecil; aku yakin itu adalah salah satu cerita dongeng yang biasa kau lantunkan untuk anak-anak asuhmu sebelum tidur.

tapi rasanya, sekarang aku ingin memercayainya. odasaku, apa kau menerima surat ini?


odasaku, kalau aku rindu, aku boleh menulis surat lagi untukmu, ya?