musim dingin tahun ini
written for @writingforskz' first project.386 words; cw tags // (possibly) a character death, character study, minho-centric.
“Minho-hyung. Bangun,”
Kalimat itu Seungmin ucapkan seperti biasa. Seperti pagi ketika ia harus membangunkannya, sambil menyibakkan tirai ranjang milik senior― oh bukan, kakaknya itu agar sinar matahari dapat merayap masuk dan ikut mengganggunya.
Minho bergeming, matanya masih terpejam. Pun Seungmin yang masih mencoba mencerna semua ini.
Seungmin menepuk-nepuk pelan pipi Minho, jemarinya bertabrakan dengan kulit halus yang dingin seperti salju. Dulu sekali Seungmin pernah bilang, bahwa keberadaan Minho-hyung terasa seperti hari natal di musim dingin.
Kakaknya yang terlihat dingin, tapi berhati hangat.
Minho yang tampak abai dengan keadaan sekitar, namun matanya berkelip seperti lampu natal ketika bertemu kucing. Minho yang diam-diam menyetok ulang persediaan susu, atau membereskan game controller yang berserakan di ruang tengah saat pagi-pagi sekali.
Minho yang belajar masak agar bisa memasak untuk orang-orang yang ia sayang, untuk anak-anak sebagai hadiah ulang tahunnya. Minho yang jam tidurnya paling cepat, yang paling ketat soal diet, tapi masih suka membeli cemilan di tengah malam supaya bisa menemani adik-adiknya. Minho yang senang menemani Jisung menonton serial kesukaannya, atau membantu Felix mencari kata dalam bahasa korea yang sulit, atau yang setia mendengar cerita hari-hari Jeongin. Minho yang baru selesai melewati hari yang panjang, tapi tetap meladeni Changbin saat ia mulai melempar berbagai senda-gurau.
Minho yang menolak ketika harus melakukan afeksi fisik, namun tak pernah sungkan mengusap bahu Hyunjin ketika ia sedang tenggelam dalam pikiran buruknya, atau menggenggam jemari Chan ketika ia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Minho yang akan menenangkannya dengan tutur kata yang teduh.
Minho yang benar-benar senang mengerjainya. Yang secara tidak sadar, sentuhan dan perkataan absurdnya itu ikut medamaikan pikirannya yang berkecamuk. Minho yang percaya bahwa ia bisa melakukan apa pun, yang tidak pernah mengkhawatirkan Seungmin karena ia percaya padanya.
Seungmin menangkup wajah Minho, yang masih diam seribu bahasa. Ia mencoba mencari kehangatan di dalamnya, hangatnya yang selalu familiar; seperti wangi cokelat panas yang menguar di seluruh ruangan, secangkirnya dapat meluluhkan hati yang beku setelah melewati hari-hari berat.
“Hyung. Ayo bangun?”
Pada hari biasa, ia akan menganggap Minho kembali mengerjainya; Seungmin akan mengganggunya dengan terus menempelkan tangannya pada wajah Minho, yang tak lama akan mengerutkan hidungnya sambil menggerutu bahwa ruas-ruas jari Seungmin terasa sedingin es.
Kali ini, tidak ada. Tidak akan ada.
Seungmin berkedip. Sekali, dua kali. Setetes air mengaburkan pandangannya, netranya mulai berat oleh air mata.
Kali ini, ia tidak bisa menemukan kehangatan itu.