menara suar(a)
(for gayeon) part of halcyon universe.
“Pernah kepikiran nggak, kalau suara-suara deru kendaraan yang lewat itu mirip sama suaranya debur ombak?”
Sepi. Hanya ada segaris laut biru pudar di atas pasir-pasir putih yang kosong. Musim dingin memang bukan waktu yang tepat untuk pergi mengunjungi pantai, tapi tidak ada yang tidak mungkin dari isi kepala Jiseok.
Jooyeon menoleh pada gema biru yang mengudara di sampingnya. Jiseok yang hampir tenggelam dalam balutan jaket tebalnya masih melihat pemandangan pantai luas di sekitarnya, tak ada sama sekali raut bosan di wajahnya.
“Suara kendaraan? Memang di laut ada bunyi klakson juga?”
Jawabannya disambut oleh tinjuan pelan Jiseok pada lengannya.
“Bukan yang begitu maksudnya,” Jiseok mendengus. “Maksudnya kayak ... apa, ya? White noise? Desibelnya rendah dan timbul tenggelam. Sama-sama bersuara 'wuuuushh' lalu hilang.”
Jooyeon mengernyit. Ia tidak begitu mengamati suara benda mati karena beberapa tidak punya warna berarti, apalagi paham berapa sekian desibelnya. Tapi dengan memejamkan mata, dalam pantai kosong dan sesepi itu, mungkin ia sedikit banyak dapat memahami maksudnya.
Keduanya memancarkan binar kelabu dingin yang teduh.
“Sepi, ya?” Jooyeon menimpali dengan pikirannya yang lain. “Kita harusnya ke sini pas liburan musim panas, Jiseok-ah.”
“Nggak apa-apa. Aku nggak terlalu suka keramaian,” Jiseok menghela napas, membentuk kepulan asap dingin yang keluar dari mulutnya.
Jooyeon tahu itu.
Jiseok menyandar pada pilar tangga kayu yang ia duduki, membuat suara berderit yang membuyarkan lamunan Jooyeon.
“Dulu,” Jiseok tampak berpikir sebelum melanjutkan, “dulu aku pernah tinggal di apartemen yang lokasinya tepat di depan jalan besar. Setiap hari polusi suara nggak bisa dihindari; dari klakson-klakson kendaraan macet, gerung motor-motor yang suka ngebut, sampai suara tabrakan beruntun ...”
Jooyeon seketika menoleh padanya. Jiseok sendiri tampak hilang selama beberapa saat, karena ia tak lekas melanjutkan perkataannya; sampai Jooyeon menggenggam tangannya.
“Kamu nggak apa-apa?”
Jiseok menoleh. Bertemu dengan raut wajah Jooyeon yang khawatir. Alam bawah sadarnya membuat Jooyeon masih menggenggam tangan itu erat; jempolnya kerap menyapu jemari Jiseok yang terasa dingin.
Jiseok memiringkan kepalanya bingung. Jawaban itu sekaligus menjawab pertanyaan Jooyeon secara tak langsung; ia baik-baik saja. Jooyeon mengembuskan napas yang tak sadar sedari tadi ia tahan.
“Tapi kalau malam hari, jalanannya sepi,” Jiseok kembali melanjutkan, walau kini tutur katanya sedikit lebih lambat. “Hanya ada beberapa truk besar yang lewat. Selain itu, sisanya suara-suara yang aku bilang tadi — deru kendaraan yang lewat lalu hilang. Lucunya, itu membuat aku tidur nyenyak, ya?”
Jooyeon menunggu Jiseok untuk melanjutkan.
“Aku selalu membayangkan mungkin seperti itu rasanya tinggal di perumahan dekat pantai. Kau akan terus mendengar suara debur ombak yang tak pernah ada habisnya. Meskipun pada beberapa hari tertentu, suara itu diisi oleh kepingan botol pecah dan teriakan orang bertengkar ...”
Jiseok kembali terdiam. Jooyeon merasakan genggaman tangannya mengerat.
“Jiseok-ah,” lamat-lamat Jooyeon memotongnya, sebelum Jiseok tersesat semakin jauh. “Aku pikir, suaranya sangat berbeda dengan debur ombak.”
Keheningan itu kembali terisi oleh sayup-sayup suara ombak yang saling bertabrakan. Mungkin karena anginnya semakin kencang, gulungan ombak yang tercipta terdengar semakin besar.
“Oh ...” Jiseok tampak mendengarkan suara ombak itu dengan seksama, kemudian ia mengerutkan dahi. “Kenapa kita ngomongin tentang hal ini, ya?”
Jooyeon membalas genggamannya, membuat Jiseok melirik pada kaitan tangan mereka.
“Mungkin karena Jiseok suka pantai?” Jooyeon mencoba memberi jawaban. “Lalu, kamu membayangkan suara-suaranya terasa seperti suasana di pantai.”
“Sebenarnya aku tidak pernah terlalu peduli soal itu,” Jiseok membalas. “Tapi, ini ... ada beberapa saat ketika telingaku terlalu sensitif terhadap suara. Kadang, suara-suara itu merekam memori mengerikan. Kupikir, daripada harus tenggelam dalam kegelapan, lebih baik aku asumsikan rasanya sama seperti melihat matahari di musim dingin. Warna kuning pucat yang teredam kabut dingin. Heh, sayangnya pasir-pasir itu terlalu basah untuk dipijak, ya? Jadi kita nggak bisa lihat dari dekat,”
“Warna?” Jooyeon kembali mengernyit. Meskipun ia paham sedikit-banyak pembicaraan Jiseok adalah omongan abstrak yang tidak seberapa ia mengerti, ia tetap terkejut ketika mendengar Jiseok mengasumsikan suara sebagai warna.
“Ngomongin tentang warna, aku juga punya rahasia kecil,” timpalnya. Sesungguhnya, Jooyeon melakukannya untuk mengalihkan pembicaraan ini; agar Jiseok berhenti mengingat hal-hal tidak baik—bahkan ketika mereka sudah jauh pergi meninggalkan hal itu. Tapi ia belum pernah bercerita tentang kondisinya itu pada siapa pun selain keluarganya, bahkan pada Jiseok.
“Ini ... aku bisa lihat warna-warna dari gelombang suara.”
Kini Jiseok menatapnya lekat-lekat. Tatapan kosong itu berubah menjadi ketertarikan penuh padanya.
“Warna? Suara?”
“Eum, kayak ... warna suara ombak terlihat kelabu biru di pandanganku. Meskipun suara benda mati itu gelombangnya terlihat sangat samar ... warnanya mirip dengan suara saat kita naik kendaraan di tengah jalan tol yang lengang. Mungkin karena itu menurutmu mirip, meskipun deru kendaraan warnanya kelabu mengarah ke tembaga ... atau, kamu tahu suara gitar? Warnanya kuning kecokelatan transparan, seperti gelombang milik kak Jungsu meskipun warna suara manusia biasanya jauh lebih tebal dan bervariasi. Oh, manusia. Suara manusia selalu terlihat menarik, meskipun sesekali buatku menjadi pusing.”
Jiseok berkedip, tampak tidak percaya. “Kamu sungguhan bisa lihat warna suara?”
“Nggak percaya pun nggak apa-apa” Jooyeon mengangkat bahu. “Tapi, begitu. Kadang bisa aku kontrol, kadang tidak. Kalau sudah susah dikontrol, mau melakukan apa pun rasanya seperti buta,”
“Synesthesia?” Jiseok manggut-manggut.
“Syn ...? Yah, mungkin itu,” Jooyeon kembali mengernyit pada kosa kata Jiseok yang rumit.
“Serius? Wah,” Jiseok tampak terkagum-kagum. “Berarti kalau aku sedang berbicara seperti ini, ada warnanya, dong?”
Gelombang biru itu tampak menari dengan riang. Mereka kini memunculkan warna lainnya—yaitu tosca, yang selalu Jooyeon nantikan kehadirannya.
Warna tosca itu selalu muncul ketika Jiseok sedang tertawa.
“Biru gelap, dengan corak ... eum ... kamu tahu? Cahaya langit malam yang ada di Norwegia. Kalau kamu tertawa, corak hijaunya mengalir persis seperti di video-videonya.”
Jooyeon tidak ingat namanya, tapi ia ingat—penampakan langit yang ia tonton bersama Jiseok dalam sebuah film dokumenter dulu sekali. Saat pertama Jooyeon melihat langit itu, ia langsung mematenkan bahwa itu benar-benar warna Jiseok. Karena ia kadang kesulitan mendeskripsikan sebuah warna suara, dan tak terkira bahwa visualisasi langit itu akhirnya terpakai—untuk menjelaskannya kepada sang pemilik.
“Norwegia?” Jiseok mrngerutkan dahi. “Norway ... northern— northern lights? Aurora borealis?”
Jooyeon meringis. Bukan putri. Tolong berhenti pakai kosa kata rumit,”
“Bukan, bukan aurora itu,” Jiseok merogoh sesuatu dalam sakunya, menegluarkan ponsel pintar miliknya dan mencari sesuatu.
Ia menunjukkan sebuah video langit. “Ini?”
“Oh! Iya, yang ini. Tapi, hijaumu lebih ke warna kebiruan. Seperti apa ya? tosca?” Jooyeon menonton video 30 detik itu hingga selesai.
Ia melirik pada Jiseok, yang memandang langit-langit dengan kagum.
“Wah,” ucapnya untuk yang kesekian kali. “Kamu yakin nggak lagi ngegombal? Kayaknya deskripsimu terlalu cantik untuk dipercaya.”
“Ey ... aku udah bilang, kalau nggak percaya juga nggak apa-apa,” Jooyeon merengut mendengar ucapannya.
“Aurora borealis di pantai? Wow,” Jiseok tertawa kecil. “Pasti cantik.”
Kamu memang cantik, dalam hati Jooyeon berucap. Begitu rasanya setiap aku melihatmu— rasanya, aku hampir gila.
“Kalau Jooyeonie warnanya apa?”
“Eng?” Jooyeon tak memperkirakan pertanyaan itu. “Aku? aku nggak bisa lihat warna suaraku sendiri,”
Jiseok tampak terkejut. “Eh? Serius?”
“Eum,” Jooyeon tertegun. “Menurutmu warnanya apa?”
Jiseok mengernyit. “Aku nggak mengerti bagaimana synesthesia bekerja.”
“Nggak perlu spesifik. Coba dipikir seperti saat kamu menganggap suara mobil lewat itu seperti debur ombak.”
Jiseok tak menjawab. Tak mengharapkan jawaban, Jooyeon ikut memandang pada lautan luas, yang langit-langitnya mulai tertutupi kabut tipis.
“Oh, mercusuar.”
Jooyeon menoleh, lalu mengikuti arah pandang dan jari telunjuk Jiseok pada sebuah titik cahaya di pinggir laut. Di balik kabut dingin yang menyelimutinya, samar terlihat bangunan tinggi yang menjulang pada ujung teluk pantai.
“Untuk membantu navigasi kapal, mercusuar akan menyala dalam gelapnya malam, atau saat cuaca sedang buruk.” Jiseok menjelaskan. “Karena itu, mercusuar didesain sedemikian rupa agar cahayanya cukup terang untuk dapat menembus semua itu.
“Aku pikir, itu yang akan aku lihat kalau bisa lihat visualisasi suara Jooyeon.”
Jiseok kini berpaling dari menara itu, dan menatap Jooyeon lekat-lekat. “Memang tidak ada warna spesifik, tapi kupikir seperti itu. Ketika tersesat dalam gelap, atau ketika sedang menutup mata, ada satu titik cahaya yang memandu pulang. Atau memberi sinyal agar terhindar dari marabahaya. Entah itu obrolan kecil tentang komik yang kamu baca, atau cerita keseharian anjingmu di rumah, atau sekedar senandung dari lagu yang kamu suka saat itu.
“Suara Jooyeon itu seperti suara-suara yang mengantar pulang ke rumah.”
Hening. Jooyeon hanya terdiam, masih mencoba untuk mencerna kata-katanya. Sedang lampu mercusuar di belakang masih berkedip pelan, memancarkan sinyal pada laut kosong.
Pernahkah Jiseok berpikir bahwa justru gelombang birunya yang selalu membuatnya tenang?
“Siapa yang mengajari kamu ngomong gombalan seperti itu?” Akhirnya Jooyeon menanggapi.
“Aku belajar dari ahlinya,” balas Jiseok, lalu ia menepuk lututnya pelan. “Yah. Nggak seperti kamu, aku nggak bercanda,”
“Aku nggak bilang begitu, lho?” Jooyeon tertawa kecil, berusaha menyembunyikan kesedihannya. “Ah, aku jadi malu ...”
“Itu yang aku rasakan tiap kamu ngomong yang aneh-aneh,” ucapnya kemudian.
“Ini? Seperti apa itu sebutannya—ada kupu-kupu dalam perut?” Jooyeon memasang wajah terkejut yang dilebih-lebihkan. “Apa ini? Sekarang kamu udah sayang sama aku?”
“Sayang kok,” Jiseok menjawab serius. “Apa yang bikin kamu berpikir kalau selama ini aku nggak sayang?”