matahari terbenam
continuation of that colors au (or an alternate ending)772 words, for gunseok; tags// ambiguous ending, mourning
i don't feel comfortable posting this on any (kind of public) platform so i did it here for the sake of my enjoyment alias dibuang sayang.
this is a songfiction based on your ocean – hoppipolla.
part II dari playlist: [ 𔓘 ]
please keep in mind that i don't ship them seriously in their real life. any persons involved here are written for fictional purposes only.
Gunil sadar bahwa ia sedang bermimpi.
Matanya terpejam rapat; pandangannya hitam walaupun ada semburat cahaya membayang dari balik kelopak matanya. Kontras dengan cuacanya yang hangat, sepasang kakinya bertabrakan dengan air dingin yang menelan mata kaki; sedang butir-butir pasir di bawahnya terasa menyusup di sela-sela jari. Angin laut berembus pelan, membuat helai rambutnya terasa lengket.
Ia pasti sedang bermimpi. Karena apabila tebakannya benar, ia takkan berani menginjakkan kakinya di sudut hangat itu kala ia terbangun. Ia bahkan tak berani menatap pada lapangan belakang rumahnya, atau menggenggam gitar kesayangannya lama-lama, atau bahkan mencium aroma samgyetang dari kejauhan.
Ia takut akan hal-hal familiar yang selalu menghantuinya pada rasa sakit.
Panas pada matahari terasa kian menyengat di kulit. Suara gemuruh ombak bergulung di telinga, memperjelas kenyataan bahwa barangkali tebakannya memang benar. Entah berapa lama Gunil berdiri di sana hingga ia merasakan kehadiran sosok manusia selain dirinya.
“Kak Gunil.”
Suaranya halus, seperti bisikan yang terbawa oleh angin. Gunil ingin memercayainya ― bahwa itu hanya halusinasi belaka; karena ia hafal betul tabiat dari pemilik suara tersebut. Tentang bagaimana ia tidak pernah berbicara selembut itu sebelumnya.
Karena presensinya selalu penuh akan ledakan emosi, yang meletup-letup seperti kembang api di malam hari. Mendatangkan bahagia. Menerangi gelap. Cahaya, cahaya, cahaya.
Mau mengelak seperti apa pun, Jiseok tetap menjadi bagian dari dirinya yang rumpang.
“Kenapa?”
Namun suara itu mengembalikan raganya dari lamunan; yang tidak ia sadari sedang meleleh dalam air mata. Apa itu air mata kerinduan, atau rasa sayang, atau rasa bersalah, ia tidak yakin; karena bahkan di dunia nyata, ia tidak pernah menangis. Tidak ada sedih. Tidak ada lara. Meskipun rasanya kosong; yang membuat Gunil hanya bisa melamun berhari-hari, hingga roti-rotinya hangus; atau ketika ia lupa mengurusi hewan-hewannya sampai Jungsu yang harus turun tangan selama seminggu.
Ada kosong. Tapi tidak ada sedih.
Gunil terisak. Merasakan dadanya sesak. Sebuah jemari menyapukan permukaannya pada pipi yang basah; mencoba menghentikan meskipun percuma. Seakan sadar dengan hal itu, ia berakhir dengan menggenggam kedua tangan Gunil yang gemetar.
Masih genggaman yang sama. Ujung jemarinya kasar, kulitnya menebal karena terlalu sering memainkan gitar. Telapaknya hangat.
“Kakak nggak mau lihat aku?”
Gunil menundukkan kepala, semakin menutup matanya rapat-rapat, lalu menggeleng keras-keras ― akhirnya memberikan sebuah respon yang berarti. Ia mengeratkan genggamannya, berharap gestur itu cukup untuk menghantarkan sebuah permintaan maaf yang tersirat, karena suaranya tercekat.
“Ya udah. Nggak apa-apa,” ibu jarinya membelai jemari milik Gunil.
Entah ia menangis untuk berapa lama. Tapi sosok di depannya itu masih dengan sabar menunggunya, tidak berkata apa-apa, menyerap emosi Gunil yang tiba-tiba datang meluap-luap melalui genggamannya yang tak kunjung lepas.
“Kayaknya aku gila ...” Gunil berbisik, setelah dirinya cukup tenang dan percaya pada dirinya sendiri untuk berbicara.
“Nggak. Kakak nggak gila,” suara itu menyahut. “Itu namanya perasaan berduka.”
Angin yang lewat semakin terasa dingin; rasanya matahari mulai berjalan menuju ufuk barat. Mungkin kulit-kulit jari kakinya telah berkerut karena ia terlalu lama berendan dalam air, namun Gunil tak peduli. Seluruh tubuhnya terasa kebas.
“Kak Gunil. Boleh aku peluk?”
Gunil menelan ludah sebelum menjawab. “Boleh ...”
Maka dalam kegelapan yang tak tentu arah, Gunil merasakan sosok itu merengkuh tubuhnya; hangat. Wanginya masih sama dengan terakhir kali Gunil ingat ― ketika ia baru selesai mandi menggunakan sabun dari penginapannya. Bahunya masih lebar seperti kala ia membelakangi Gunil, memetik gitar sembari menyenandungkan lagu untuk anak-anak.
Ia terasa hidup.
Meskipun ia mengerti ini bukan Jiseok. Sosok ini hanya manifestasi dari bayangannya akan seluruh penyesalan yang ia pendam.
“Maaf ...”
“Jangan. Aku yang minta maaf,” sosok itu balik mengusap-usap punggungnya. “Kak Gunil ...”
Pada dimensi lain di mana raganya masih dapat hidup bergandengan, Gunil akan memeluknya erat-erat hingga ia lupa akan dunia. Agar ia tidak pernah sekali pun merasa sendirian. Agar ia dapat bersembunyi dalam dekapannya lama-lama, hingga salju-salju pada musim dingin meleleh dan menumbuhkan bunga; hingga ia siap untuk kembali menatap dunia.
Namun dalam mimpinya, justru ia yang mendapat rasa nyaman.
“Maaf. Maafkan aku,” Gunil berbisik, kembali terisak. “Jiseok-ah. Maafkan aku.”
“There's nothing to be sorry for ...” balasnya ikut berbisik, namun jawaban itu membuat isakan Gunil semakin kencang. “Kak ...”
”... Kak Gunil, sekarang langitnya sudah mulai gelap,“ ia kemudian bercerita. Mencoba menenangkannya. “Kakak tahu warnanya? Kalau nggak, biar aku kasih tahu apa aja. Biar aku ceritakan panjang-lebar supaya kakak bisa lihat dari mata aku,
“Soalnya, aku nggak sendirian, 'kan? Ada kakak. Jadi aku mau lihat sama-sama. Tapi, kalau kakak nggak mau lihat, nggak apa-apa. Aku masih di sini dan akan selalu ada di sini. Kakak nggak sendirian,” ia menepuk-nepuk punggungnya pelan. “Kakak nggak sendirian. Aku bakal di sini sampai kakak baik-baik aja. Nanti kita jalan-jalan di pantai kayak waktu itu,
“Nanti kalau kakak udah mau buka mata, kita lihat matahari terbenam sama-sama, ya?”