kucing-kucing di ladang

#xh

(for jungseok) part of a bigger universe that doesn't have a title yet.

cw // kissing, probably also this one is pretty cringe so if someone read this, i've warned you T___T


Mungkin ini hidup yang diidamkan orang-orang kota, pikir Jiseok seadanya.

Meskipun sawahnya tak seluas milik desa sebelah, jarak antara satu petak dengan yang lain masih cukup jauh. Padi-padinya masih berwarna hijau, dialiri air segar yang menghidupinya. Di atasnya, plastik-plastik yang bergantung pada seutas tali mengeluarkan suara gemerisik apabila tertiup angin. Jungsu bilang, cara itu jauh lebih efektif untuk mengusir hama dan burung-burung yang suka merusak sawah, ketimbang hanya memasang orang-orangan sawah. Pada ujung petaknya, ada kolam kecil dengan sekelompok bebek yang sedang berenang dengan riang.

“Kamu bisa kena heat stroke kalau kelamaan berdiri di sini,” sebuah suara menyadarkan lamunannya. Jiseok menoleh pada sumber suara, yang kini ikut memandang pada apa yang Jiseok lihat sedari tadi. “Kamu suka bebek?”

“Huh?”

“Biasanya aku bawa pakan bebek,” Jungsu mengerutkan dahi. “Tapi, hari ini aku nggak lewat rumah tetangga yang ada karung pakannya,”

Mata Jiseok membesar. “Kamu mencuri pakan juga?”

“Yah, apa maksudnya dengan 'juga'? Aku nggak sesering itu mencuri,” Jungsu merengut. “Lagipula itu bukan mencuri, kalau aku kasih pakannya ke bebeknya sendiri, 'kan?”

Tapi Jiseok tidak mendengar sisanya. Angin dingin berembus lembut, membuatnya memejamkan mata. Angin di kota juga tidak seperti ini. Walau di sini cuacanya terik, udaranya tetap terasa segar.

Jungsu memasangkan topi jerami yang sedari tadi ia kenakan padanya. Jiseok juga mulai merasakan sepasang tangan yang menggenggam lengannya. “Ayo jalan lagi, kita mau pergi ke minimarket, 'kan?”

Jiseok tak menjawab. Ia masih hanyut dalam pikiran-pikirannya. Apakah dengan merasa seperti ini akan membuatnya hidup? Apakah dengan mencuri akan membuat jantungnya berdebar seperti manusia? Apakah terus berlari bersama Jungsu akan membuat hidupnya menjadi berwarna?

Jiseok membuka mata. Menemukan Jungsu yang menatapnya cemas.

“Kak.”

“Kamu nggak apa-apa?”

“Aku mau ciuman.”

Angin kembali berembus. Kini suara gemerisik plastik-plastik mengisi keheningan di antara mereka, diikuti raut wajah Jungsu yang terkejut bercampur bingung.

“Ciuman?” Jungsu tak tahu harus merespon apa. “Sama siapa? Kamu ngincer seseorang di kelas?”

“Ya, maksudnya,” Jiseok menelan ludah. Ia tidak percaya ia harus mengatakannya secara gamblang. “Maksudnya, ciuman sama kakak, lah.”

Kini Jungsu menganga lebar.

“Kamu beneran kena heat stroke, ya?”

Jiseok yang sudah kepalang malu akhirnya mencoba melewati Jungsu. “Udahlah, lupain aja. Kayaknya aku memang kekurangan asupan cairan. Ayo ke minimarket,”

Tapi Jungsu menghentikannya sebelum ia hampir terjatuh dari pematang sawah tempatnya berpijak. “Tunggu, tunggu. Tadi kamu ngomong serius?”

“Kapan sih, omonganku dianggap serius sama kakak?” Jiseok kini tampak terganggu. “Terserah. Mungkin emang karena lagi panas aja. Udah—”

“Aku tanya begitu karena aku anggap omongan kamu serius,” Jungsu kembali menghentikan geraknya. Ia masih menggenggam bahu Jiseok. “Kamu mau? Tapi kenapa?”

Jiseok menggigit bagian dalam pipinya dalam diam sebelum Jungsu kembali bertanya.

“Kenapa aku?”

Kenapa? Apa karena Jungsu adalah satu-satunya anak kelas yang dekat dengannya? Atau karena ia hanya penasaran, dan Jungsu adalah manusia yang paling tepat untuk mencobanya? Atau hanya karena ia Jungsu—seseorang yang selalu membuatnya nyaman, hingga ia tidak perlu khawatir bahwa ciuman itu akan mengubah segalanya?

Tapi yang keluar dari mulut Jiseok tentu saja hal yang lain.

“Karena kakak selalu terlihat hidup,” ucapnya lamat-lamat, “dan aku mau mencicipi rasa kehidupan itu.”

Jawaban absurd lainnya. Mungkin orang lain akan semakin bertanya-tanya, atau malah pergi meninggalkannya. Tapi Jungsu tidak. Ia hanya terdiam menatapnya, mencoba mengerti.

Jiseok-ah, apa yang ada dalam pikiranmu saat ini?

“Oke,” Jungsu menyanggupi, yang membuat Jiseok terkejut, walau sejak awal ia yang meminta duluan. “Tapi aku nggak tanggungjawab kalau rasanya nggak seperti yang kamu ekspektasikan.”

Tidak ada waktu untuk berubah pikiran. Bahkan tidak ada waktu untuk berdebar, karena Jungsu lantas mendekat dan sedikit mengangkat dagunya dengan sayang sebelum ia mulai menciumnya.

Perasaan hangat menjalar ke seluruh tubuh, seakan-akan ia sedang menenggak minuman beralkohol. Manis. Adiktif. Memabukkan. Dan Jungsu masih mengecup bibirnya, melumatnya hingga ia hampir kehabisan napas. Ia merasakan tangan Jungsu yang menahan punggungnya supaya ia tak terjatuh. Jiseok turut memeluk pinggangnya erat.

Mungkin cepat atau lambat ia akan terkena heat stroke betulan.

Pada akhirnya mereka saling melepas pagutan. Topi jerami yang Jiseok kenakan sudah tersampir di punggungnya, mungkin sudah terbang tertiup angin apabila tidak ada tali yang mengait pada lehernya.

Jungsu menatapnya lekat-lekat, lalu menangkup kedua pipinya.

“Kamu yakin nggak kena heat stroke? Wajahmu merah,”

Jiseok yang masih terengah hanya bisa menganga.

“Dasar gila,” sambil mengumpulkan napas, Jiseok mengumpat pelan. Ia merangkul Jungsu seadanya, memberatkan segenap titik tumpu tubuhnya di sana. “Rasanya aku hampir mau mati,”

Kenyataannya, ia jauh dari rasa mati. Ia tidak pernah merasa sehidup ini sebelumnya. Ada perasaan bergejolak dalam dirinya yang membuat jantungnya berdebar. Perasaan yang sama seperti perasaan setelah naik roller coaster atau menonton pertunjukkan kembang api.

Ia suka. Lagi. Ia mau lagi.

“Lagian kamu mintanya aneh-aneh ... kamu masih kuat jalan nggak?” Yang satunya bertanya dengan khawatir, membuyarkan lamunan Jiseok. Tak mendapat respon, Jungsu membungkukkan badannya. “Kalau nggak, sini aku gendong sampai minimarket,”

Yang masih mabuk kepayang ujungnya hanya menurut saja.

Dengan begitu, mereka kembali berjalan dengan Jiseok yang menempel di punggung Jungsu seperti seekor anak koala. Melewati sawah-sawah hijau dengan pandangan berbinar.

Ia menyandarkan kepalanya di bahu Jungsu. “Nanti kamu ajarin aku nyolong pakan juga ya,”

“Yah!! Udah kubilang aku nggak mencuri!”