denyut kala layu
(for jungseok) part of a bigger universe that doesn't have a title yet.tw // suicidal thoughts, sensitive topics, implied/subtle description of child abuse.
“Kenapa ya, manusia itu nggak takut mati?”
Ucapan itu membuat Jiseok membuka mata, bertemu awan-awan yang melaju dengan malas. Diikuti sapuan angin yang membelai rambutnya terbang. Siang ini juga terlihat cerah; seakan-akan hari ini adalah hari lain yang damai dan tenang.
Jiseok melirik pada sumber suara—yang ia kira sudah jatuh tertidur. Jungsu masih berbaring di sampingnya dengan mata terpejam, lengkap dengan sisa-sisa memar dan babak belur pada wajahnya; satu-satunya bukti bahwa realita yang mereka jalani adalah nyata adanya.
“Kata siapa?” Jiseok akhirnya menjawab pelan. “Semua orang pada dasarnya takut mati. Insting manusia yang paling dasar adalah bertahan hidup, jadi meskipun kamu mencoba untuk mengakhiri hidup, akan ada sepersekian detik dari dirimu yang tetap berusaha untuk menyelamatkan diri.”
Jungsu akhirnya ikut membuka mata, walau hanya separuh karena mata yang lainnya telah membengkak. Ia turut menatap langit biru dengan pandangan kosong.
“Tapi kenapa setiap mereka dilanda kesulitan, atau merasa terjebak, kata-kata mau mati itu lebih mudah keluar?”
Jiseok masih menatapnya dalam diam. Sekilas, Jungsu terlihat seperti boneka rusak yang tergeletak di tengah jalan. Apabila dadanya tidak bergerak naik-turun karena bernapas, mungkin Jiseok akan mengira ia adalah salah satu darinya.
“Mau mati.” Ucap Jungsu lirih, sekali. Membuyarkan lamunan Jiseok.
“Mati.” Dua kali. Matanya tampak berkilau di bawah sinar matahari.
Ia menelan ludah sebelum melanjutkan, “lebih baik mati. Padahal, kita nggak tahu kehidupan setelah mati itu seperti apa. Apa kita akan mendapat ketenangan abadi setelah berhenti hidup? Atau kita akan lahir kembali jadi sesuatu yang lain? Jadi sesuatu yang kita inginkan di kehidupan sebelumnya?”
Jungsu akhirnya melirik pada Jiseok yang masih berbaring di sampingnya, sibuk dengan pikirannya sendiri. Bagaimana caranya menjelaskan konsep ingin mati kepada orang yang berusaha keras untuk bertahan hidup? Walau hidup yang ia perjuangkan selama ini sangat menginginkannya untuk mati?
“Atau dibakar hidup-hidup karena telah menyalahi garis takdir yang diberikan Tuhan,” sembur Jiseok seadanya, walau ia tahu saat itu bukan waktu yang tepat untuk bercanda, apalagi diiringi dengan topik sensitif. Tak mengharapkan respon berarti, Jiseok kembali melanjutkan, “atau, mereka mau mengakhiri sedih dan sakit yang mereka rasa selama hidup.”
“Tapi mati juga sakit,” Jungsu mengernyit, tatapannya kembali mengarah pada langit-langit.
“Hidup ... akan ada titik di mana kamu akan mati rasa dan berhenti merasakan rasa-rasa sakit itu kalau sudah terbiasa.”
Tapi, bukan sakit seperti ini yang seharusnya membuatmu terbiasa, Jiseok membatin. Kak Jungsu tidak melakukan kesalahan apa pun. Tidak ada manusia yang pantas mendapat perlakuan seperti ini. Tidak seharusnya kamu mendapat perlakuan selayaknya samsak tinju yang digantung dalam gudang penuh debu.
Jiseok sudah tak tahan. Ia mulai menggerakkan lengannya; jemarinya merangkak pada lantai kayu sebelum ia berhasil meraih kelingking Jungsu, memberi sentuhan dengan harapan bahwa ia akan segera sadar.
“Kak,” panggilnya kemudian, tak melepas pandangan dari Jungsu sekali pun. “Mau pergi ke rumah sakit?”
Jungsu kembali menoleh, kini menatapnya dengan bingung.
“Buat apa?” tanyanya kemudian. Ia melepas kaitan kelingking itu, tampak sekuat tenaga mengumpulkan energi untuk mengangkat tangannya dan membelai rambut Jiseok, mencoba menenangkan. “Aku nggak sakit, kok. Aku nggak akan mati karena ini,”
Jiseok menggeleng keras-keras. “Kak, kamu betulan bisa mati karena ini. Kamu nggak mau bilang?”
“Bilang apa? Ke siapa?”
Jiseok menelan ludah. Ia pun tak dapat menjawabnya. Apa memang begitu seharusnya menjalani hidup sebagai anak manusia—merasa sendirian, tak berdaya, bahkan hanya untuk meminta pertolongan, tak ada yang mampu dipercaya?
Sekali pun Jungsu adalah manusia yang paling manusia yang pernah Jiseok temui selama ini?
Seperti dapat melihat kekalutan dalam raut Jiseok, Jungsu kini membelai pipinya. “Udah, nggak apa-apa. Nggak kayak orang lain, aku masih belum mau mati,” ia tersenyum tipis, lalu mencubit pipi itu dengan pelan. “Aku akan tetap hidup meskipun orang-orang di sekitarku mau mati, atau mau aku mati. Biar aku yang berusaha menjadi lebih baik, supaya mereka nggak pernah berpikir seperti itu lagi.”
Jungsu menurunkan tangannya, lalu matanya kembali terpejam; setelah mengucapkan kata-kata yang membuat hati Jiseok kembali mencelos.
“Kuharap kamu juga berhenti berpikir untuk mengakhiri hidupmu, Jiseok-ah.”
Tidak. Seharusnya kamu berusaha untuk menyelamatkan diri sendiri dulu, bukan orang lain ...