another day
#skz #writingforskz #songfiction
Di kota kecil ini, kebisingan berperan bagai pedang bermata dua; seperti sebuah anugerah, juga sekaligus kutukan.
written for @writingforskz' #WfsSongFictionProject 2.3k words; tags // songfic, alternate universe, ot8 platonic relationship - but mostly jisung-centric. this is a work of fiction. any similarity to actual persons or events are purely coincidental. the lyrics, as well as the title and inspiration are from another day - stray kids.
🎼
Di tengah skema hingar-bingar yang mulai meredup, terlihat seorang pria sedang mengumpulkan sisa-sisa uang receh yang berceceran di lantai, setelah jerih payahnya membuat huru-hara dengan teman-teman seperjuangannya terbayarkan.
“Kerja bagus, teman-teman,” ucap Chan, salah satu anggota tertua dalam kelompok itu, yang ikut diamini dan disambut tepuk tangan oleh anggota lainnya. Pria itu menatap Chan yang masih memunguti alat penukar barang itu dengan teliti.
“Chan-hyung,” pria akhirnya itu memanggil, “Ini, sisanya.”
Chan menoleh, seutas senyum lelah tersampir di bibirnya. “Jisung, kerja bagus,” ucapnya sembari menerima setangkup uang recehan tersebut. Ia menghitungnya dengan seksama, lalu membagikannya kepada seluruh anggota dengan adil.
.
Adalah Han Jisung, salah satu manusia dari ratusan penghuni kota kecil yang aneh ini. Aneh karena dalam kota ini, eksistensi matahari tidak pernah ada. Jam terus berputar dan langit akan tetap sewarna jelaga, gelap dan mencekam. Maka dari itu, orang-orang bertahan hidup dalam gemerlap lampu dan gemuruh suara yang tiada habisnya.
Sebuah perkenalan singkat; kota ini hidup seakan ia dan seisinya tidak pernah tidur.
.
Satu lagi pertunjukkan telah sukses mereka gelar. Jisung menghela napas, matanya terasa semakin berat oleh kantuk yang tak ada habisnya. Meskipun kota itu adalah malam yang tak berujung, ia tidak pernah bisa tidur dengan tenang. Tidak pernah dan tidak akan bisa.
Waktunya tidak pernah cukup.
Jisung menatap koin dalam genggamannya. Uang itu cukup untuk membeli stok ramyun selama seminggu, beberapa kebutuhan pokok, dan cicilan uang sewa apartemen studio yang ia tinggali bersama Jeongin di pinggiran kota. Anggota lain memutuskan untuk membeli makan sebelum pulang, namun Jisung tidak merasa lapar. Lantas, ia masuk ke minimarket yang berlampu remang-remang, membeli sebotol air mineral dan bergegas pulang.
.
Jisung dan teman-temannya bukanlah pengecualian. Selama dua tahun terakhir, mereka telah tampil di banyak tempat, melakukan pertunjukkan apa pun yang bisa ditawarkan pada sekitar.
Menari di tengah hiruk-pikuk kesibukan supaya orang-orang terhibur.
Menyanyi hingga suara serak agar tidak ada yang merasa kesepian.
Awalnya, Jisung menyukai konsep pekerjaan itu. Ia berkarya dan terus berkarya; suara hatinya didengar dan disukai warga sekitar, yang ruang lingkupnya semakin melebar dan luas. Semakin banyak dukungan, semakin banyak apresiasi yang menganggap karyanya indah, juga semakin banyak uang yang mengalir masuk untuk ditukarkan dengan kebutuhan hidup mereka.
Awalnya, Jisung menyukai konsep sederhana itu; ia tidak perlu merasa kesepian, buah pikirannya mendapat balasan cinta, dan ia tetap dapat menjalankan hidup seperti manusia normal lainnya.
🎼
Unit apartemen yang ditinggali Jisung dan Jeongin bersebelahan dengan milik Minho, Hyunjin dan Seungmin. Berpisah dengan Chan, Changbin dan Felix yang tinggal di gedung sebelah.
Karena itu, bukanlah sebuah pemandangan yang aneh ketika ia menemukan Minho sedang duduk meringkuk di lorong depan pintu unitnya.
Meskipun telah berkali-kali bertemu Minho dalam gestur yang tidak wajar, kekhawatiran tetap bersarang dalam rongga perut Jisung setiap bertemu dengan sosok yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri.
“Minho-hyung,” Jisung menepuk bahu sang pemilik rambut gelap. “Ada apa?”
Minho mengangkat kepalanya; membalas tatapan Jisung dengan sepasang mata yang merah dan berair.
“Jisung-ah,” Ia membalas sapaan Jisung dengan ringan. “Tidak ada. Habis ini, aku mau keluar lagi,”
“Sama Hyunjin?”
Minho menggeleng. “Biar dia istirahat saja hari ini.”
“Penampilan solo lagi?” Jisung mengerutkan dahi. “Hyung, sebelum kita tampil tadi, kau juga 'kan sudah melakukannya,”
“Iya,” Minho menghela napas. “Yang ini permintaan dari salah satu penggemar. Aku harus pergi,”
Jisung menatap kakaknya yang sedang mengencangkan tali sepatu sebelum bersiap pergi. Ia terlihat lelah, pikir Jisung, tentu saja. Semuanya lelah. Tapi waktu dan kehidupan tidak akan pernah lelah untuk terus mengejar mereka.
“Kalau gitu, aku juga mau ikut,” Jisung berkata, dan sebelum ucapannya dibantah oleh Minho, ia kembali bersikeras. “Aku mau nonton pertunjukanmu, Minho-hyung.”
Minho terlalu lelah untuk berdebat dengan pemilik tatapan mata sengit tersebut, jadi ia hanya membalas dengan anggukan.
“Ya sudah, terserah kau saja,” balasnya sambil melangkah pergi, diikuti oleh langkah Jisung yang mengekor di belakangnya.
.
Jisung selalu terpana ketika menonton penampilan teman-temannya; begitulah ia paham mengapa grup mereka begitu terkenal di kota ini. Minho yang lima menit lalu tertatih-tatih menuju taman tempatnya tampil, kini berubah menjadi sosok lakon berparas dingin; langkahnya ringan seperti sayap, gerakannya teatrikal seperti melantunkan sebuah sandiwara. Pada akhir penampilan, ia menyuguhi penonton dengan seulas senyum, seakan Minho yang terseok-seok beberapa jam sebelumnya sebenarnya hanya mimpi.
Minho membungkuk dengan sopan, mengakhiri satu lagi pertunjukkan yang sesungguhnya tidak pernah berakhir.
.
“Hyung, jalannya pelan-pelan!”
Jisung kewalahan menjajari langkah Minho yang sudah jauh di depan, meskipun lajunya mulai selambat kura-kura. Mereka berjalan dalam gang sempit yang gelap dan kumuh, sebuah jalan pintas pulang yang akhir-akhir ini sering mereka pakai.
Orang-orang tidak boleh melihat wajah lelah mereka. Tidak ada seorang pun yang ingin melihat wajah kusut dengan derai kantung mata; seperti beribu alasan lain yang tak terkira, penggemarnya dapat dengan mudah melenggang pergi.
Pada ujung gang, Minho kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur. Jisung yang panik segera berlari menghampirinya.
“Hyung, aku bilang juga jalannya pelan-pelan!” Jisung tak tahan untuk tidak membentak karena rasa khawatir meledak dalam dadanya. Ia membantu Minho yang wajahnya sudah tercoreng tinta tanah untuk bersandar pada dinding gang. “Kamu nggak apa-apa?”
Tentu saja ia tidak. Jisung tahu. Tapi kata-kata jujur itu tak pernah keluar dari mulutnya, atau mulut Minho, atau siapa pun yang ada dalam grup mereka.
Jisung teringat dengan ekspresi dingin yang Minho tunjukkan saat pentas, barangkali sesungguhnya adalah tatapan letih yang selalu ia tahan sampai saat ini. Tidak bisa. Jisung tidak kenal Minho yang ini. Semua anggota kelompoknya adalah sosok yang cerah dan bahagia, seperti ribuan kunang-kunang yang selalu siap menerangi kota yang gelap gulita ini.
Jisung hanya ingat wajah Felix yang berparas halus seperti boneka porselen, tertampang pada poster parfum mahal keluaran terbaru. Senyuman Seungmin yang selalu muncul pada urutan teratas setiap kontes menyanyi, atau raga Jeongin yang selalu menjadi trendsetter busana jalanan, atau potret Hyunjin yang menggelar pameran lukisan karyanya, juga paras Minho yang mengangguk serius dalam salah satu acara memasak. Juga wajah tersenyum miliknya, Chan dan Changbin yang tertera pada rubrik utama koran, dengan titel komposer muda yang sukses dengan lagu-lagunya yang riuh.
Jisung kembali menatap Minho yang memejamkan mata, masih mencoba mengatur napasnya yang terengah.
Mau bagaimana pun, wajah Minho yang ada di hadapannya saat ini adalah wajah aslinya.
(Sayangnya, hidup memang tidak bisa sesederhana itu.)
Jisung ikut duduk meringkuk di depannya; lututnya ia tekuk hingga menutupi matanya yang perih, seakan dengan melakukan itu ia dapat meredam semua kebisingan dan kilau cahaya yang memuakkan.
Ia tahu betul bahwa semua yang tampak dalam ingatannya itu, barangkali adalah sebuah kebohongan.
🎼
“Jisung-ah,” seseorang― bukan suara Jeongin, Jisung membatin― mengguncang pelan tubuhnya yang separuh terlelap.
“Jisung, bangun dong.”
Jisung membuka paksa kelopak matanya, yang disambut oleh langit-langit kamar yang sudah mulai menguning dan cahaya remang dari lampu kecil. Ia melirik dan menemukan Minho duduk di samping tempat tidurnya.
“Aku sudah sembuh, loh.” Minho menyeringai, mencoba meyakinkan Jisung dengan raut jenaka.
Hari saat insiden gang itu, Jisung akhirnya membawa Minho pulang ke apartemennya. Beruntung mereka tidak bertemu penghuni lain yang lewat dan menemukan Minho dalam kondisi seperti itu.
Grup berhenti melakukan aktivitas selama tiga hari, namun Jisung tidak beranjak dari alas tidurnya hingga seminggu lebih.
Hatinya perih. Jisung hanya mampu membalikkan badan untuk menghindari Minho.
“Ya udah. Pulang sana,” usirnya.
”... Kok gitu,” meskipun tak melihat, ia mampu membayangkan raut wajah Minho yang merengut saat mengatakannya. “Ada Chan-hyung juga, tuh,”
Kali ini, Jisung menoleh. Chan duduk di lantai, senyum simpul merekah di bibirnya.
“Yo.”
Jisung lekas duduk tegak. “Chan-hyung...”
“Ngga apa-apa, 'kan, aku main ke sini?” Chan kemudian menepuk lutut Minho untuk mendapat atensi. “Min, coba kamu ke bawah, deh. Jeongin udah mau nyampe katanya,”
Tekukan wajah pada Minho semakin dalam. “Terus?”
“Bantuin, sana. Titipan belanjaanmu 'kan paling banyak,”
Minho terdiam sejenak, tapi akhirnya ia tetap berdiri. “Ya, sudah. Aku sekalian nunggu di luar aja, Chan-hyung.”
“Min-”
Pintu sudah tertutup rapat.
Jisung menghembuskan napas, telapak tangannya ia tangkupkan untuk menutup wajah.
“Maaf, Chan-hyung. Aku nggak maksud buat ngusir Minho-hyung begitu,”
“Nggak apa-apa. Aku ngerti kamu masih kesal karena khawatir,” Chan menggeser duduknya semakin dekat dengan kasur. “Udah aku marahin juga dia biar nggak overworking lagi.”
“Iya...”
“Jisung,” kini Chan menatap lelaki berambut terang itu lekat-lekat. “Kamu mau berhenti?”
Jisung mengangkat kepalanya, terkejut. “Berhenti kenapa?” Jisung segera kembali menegakkan badannya. “Jangan berhenti, Hyung. Aku akan balik lagi nanti, maafkan aku,”
“Jangan minta maaf. Bukan begitu maksudku,” Chan mengernyit. “Aku tanya bukan sebagai grup, tapi untuk kamu sendiri.”
Jisung berkedip. “Kenapa?”
“Apa kamu masih menikmatinya?”
Menikmati apa? Membuat lagu? Tentu saja ia suka. Rasanya Jisung tak bisa hidup tanpa musik. Tampil di jalanan dan juga konser-konser? Jisung menikmati sahutan dari para penonton, sorakannya yang ikut menyanyi bersama mengisi kembali ruang energi dalam dirinya.
Jisung merasa ini memang jalan hidupnya. Mengapa ia harus merasa tidak bisa menikmatinya?
“Hyung.” Jisung memainkan selimut dalam genggamannya. “Kita semua tahu bukan itu masalahnya.”
Chan menatap lantai sebelum merespon.
“Aku rasa kita berdua juga tahu bahwa bukan itu maksudku,” ucapnya kemudian.
Tentu saja bukan, dan Jisung tahu itu. Jisung adalah teman pertama Chan, yang menemukannya dalam gelap taman kota pada hari di mana lampu-lampu jalanan itu mati.
Ketika kebanyakan orang di kota ini menyukai kebisingan, hanya mereka berdua yang senang duduk lama-lama di taman gelap itu, menggumamkan sebuah lagu pengantar tidur.
Jisung tidak mengenal dirinya yang sekarang, juga teman-temannya. Atau mungkin ia hanya lupa. Karena rasanya sudah sangat lama saat mereka terakhir kali berkumpul bersama, dan bukan karena untuk mengisi sebuah acara.
Pada sebuah hari di mana mereka dapat tidur seharian setelah konser selesai, dengan Hyunjin dan Jeongin yang bermain game atau Felix yang memanggang kue. Sebuah hari yang biasa tanpa khawatir apakah orang-orang akan meninggalkan mereka apabila mereka tidak berkarya.
Sebuah hari di mana permasalahan mereka hanya sebatas lagu mana yang akan dirilis terlebih dahulu.
”... Aku tidak tahu.” Jisung pada akhirnya mengakui. “Aku rasa aku telah kehilangan alasan untuk membuat lagu.”
Gambaran Minho yang pada akhirnya dapat terlelap di atas kasur terlintas kembali.
Sejak kapan lagu yang dibuatnya merubah mereka semua menjadi seperti ini, Jisung tidak ingat.
“Hmm. Aku rasa tidak begitu,” Chan mengangkat bahu.
“Kamu merasa kehilangan, atau hanya tersesat? Barangkali, kehidupanmu yang sekarang terlalu silau oleh cahaya. Tapi aku yakin pasti itu masih ada di sana, Jisung-ah. Alasanmu tidak pernah pergi,” lanjutnya. “Kamu hanya lupa. Bahwa musik juga harus diciptakan dengan hati, bukan hanya untuk menyambung hidup.”
🎼
Tidak seperti pertunjukkan biasanya, kali ini panggung besar itu tampak temaram dengan minimnya cahaya. Penonton mulai gelisah, beberapa ada yang telah meninggalkan ruangan.
Jisung hadir di tengah-tengah panggung, membawa lentera kecil dan meletakannya di lantai panggung. Ia ikut duduk di lantai, memangku gitar dan menatap ke arah penonton.
“Itu Han Jisung? Bukannya ia sedang hiatus?” sebuah bisikan mengudara.
“Hiatus? Kupikir dia sudah berhenti.”
“Berhenti? Buat apa dia berhenti? Pekerjaannya hanya menghibur orang kok, itu bukan hal yang berat, 'kan?”
Bisikan demi bisikan mulai berlalu lalang. Semakin keruh atmosfirnya, semakin menyimpang. Teman-teman Jisung yang duduk di bangku penonton barisan depan mulai ikut khawatir.
“Kok bisa mau tampil konsepnya gelap-gelapan gini,” sebuah suara menyahut. “Auranya negatif. Aku pulang saja.”
Mulai ada banyak suara langkah kaki pergi meninggalkan area. Beberapa ikut berdiri, beberapa masih duduk sambil menoleh kanan-kiri dengan bingung. Jisung kembali melempar pandang pada area teman-temannya duduk, dan bertemu dengan manik mata Chan yang berkelip cemas.
Jisung melambai pelan padanya, menenangkan dengan tersirat. Tidak apa-apa.
Setelah riuh rendah suara sepatu mulai hilang, diikuti oleh hening yang menyisipi sela-sela ruangan itu, Jisung mulai menyapa.
“Halo...”
Ia kembali menyapu pandang, sedikit gugup. Masih ada beberapa penonton yang duduk di tempatnya, masih menunggu dengan sabar. Jisung menenangkan diri sebelum memulai kembali.
“Halo. saya Han Jisung. Hari ini saya mau membawakan sebuah lagu, tapi mungkin berbeda dengan lagu-lagu yang biasa kami bawakan sebalumnya,” Jisung memulai. “Terima kasih sudah datang.”
Ia berdeham, kemudian memetik sebuah senar, bersanding dengan sunyi.
”...
After washing my tired body,
Turn on the boring TV.
Uninteresting news today, again
Blabber words I cannot understand,”
“Temponya lambat?” seorang penonton bertanya.
Kota ini kota sibuk, kota yang tak pernah tidur. Kota yang hanya tahu suara berisik dan suasana hingar bingar.
Karena apabila tidak begitu, mereka akan tenggelam ditelan gelapnya kesepian.
“What was the most important task?
I wanted to do so many things,
But I kept being chased by time.
There are so many things in this world
But there wasn't a space around for me to rest without worrying.”
Seorang penonton mulai berdiri dan menyalakan lampu dari telepon genggamnya. Saat Jisung berpikir orang itu akan pergi meninggalkan ruangan; penonton itu mengangkat lampunya tinggi-tinggi dan melambai pelan mengikuti melodi.
Penonton lain mulai mengikutinya.
“Just streching my feet and lying down
Doesn't make my eyes close.
Even when I tightly shut my eyes, I sleep dreamlessly.
Sharp intake of breaths whenever I wake up from my sleep, momentary dizziness
Meaningless day, at the end of it, is a repeat.”
Seungmin menoleh dan melihat para penonton mulai ikut bersenandung. Refleks ia menyenggol pinggang Changbin, yang kemudian ikut menyentuh lengan Hyunjin, dan kontak fisik berantai itu terus menjalar hingga semua anggota memutar kepala untuk menyaksikan bangku penonton.
Ada rongga kosong yang gelap pada setiap baris bangkunya, namun lambaian iluminasi cahaya yang meneranginya tampak begitu magis.
Seperti kunang-kunang.
“Is everyone happy except me?
I'm so curious about it.
Or, am I the only child who doesn't know how to hide it yet?
Everyone hides their inner self behind their masks,
So I got used to the word loneliness.”
Bait terakhir Jisung tutup, ia berdiri dan membungkukkan badan. Suara tepuk tangan dari satu, kemudian dua, dan terus merambat hingga seisi panggung yang tadinya lengang terisi oleh suara tepukan yang mengudara. Jisung mengangkat kepala, menonton reaksi para penonton.
Penontonnya memang tidak banyak. Suaranya tidak seramai biasanya. Tapi mereka ada di sini, bertepuk tangan untuknya. Sama seperti di hari-hari awal mereka membawakan sebuah lagu di tengah redupnya lampu taman.
Rasanya sangat penuh, sangat hangat; seakan cahaya yang biasa ia temui di kota selalu membutakan netra, kini terasa cukup redup untuk menerangi jiwa yang sepi.
Jisung ingin menangis. Ia bahkan tak mampu melirik pada teman-temannya.
“Terima... terima kasih untuk tetap tinggal.”